Beras Porang Dari Lombok Utara Untuk Dunia

 

beras porang lombok utara
Beras porang produksi DSA Lombok Utara (dok. inside lombok/devi)


Apa mungkin beras tidak berasal dari padi? ternyata ada beras yang berasal dari porang. Beras porang merupakan bahan pangan baru dan tengah diperkenalkan ke masyarakat.

Keberadaan beras porang mengingatkan saya ketika tanaman porang 9Amorphophallus muelleri) menjadi primadona. Kala itu banyak orang mencari porang untuk dijual ke luar negeri. Harga jual yang tinggi membuat banyak orang tergiur dan memutuskan untuk ikut serta dalam arus pertanian dan penjualan porang. Katak, bibit porang juga sangat diminati dan diburu. Seketika banyak lahan berubah menjadi perkebunan porang.

Setelah itu, pandemi datang dan porang seperti menghilang. Baru pada tahun ini, porang kembali naik kepermukaan dengan bentuk yang berbeda. Porang kini menjadi beras porang. Iklan beras porang di media sosial berseliweran membuat saya penasaran dan berusaha mencari tahu di mana dan siapa yang membuat beras porang. Dari hasil pencarian saya mendapati beragam merek beras porang, kandungan gizi, dan manfaatnya untuk kesehatan, tetapi saya belum menemukan sentra penghasil beras porang.

2 Ribu Hektar Lahan Porang

Hingga suatu hari, ketika mengunjungi pameran perdagangan di Bumi Serpong Damai, saya sama sekali tidak menduga akan berkenalan dengan Pak Puguh Dwi Friawan, pengurus Koperasi Berkah Gumi Lombok. Kami bertemu di depan stan milik Astra. Stan ini menampilkan beragam produk dari Desa Sejahtera Astra. Salah satunya, beras porong yang berasal dari Koperasi Berkah Gumi Lombok, Lombok Utara.

Puguh Dwi Frianto, Koperasi Berah Gumi Lombok
Puguh Dwi Frianto dan produk buatan Koperasi Berkah Gumi Lombok (dok. pribadi)


Para petani di Lombok Utara telah lama menanam porang. Saat ini luas lahan porang di sana mencapai 2 ribu hektar dan dikelola oleh 800 petani. Lahan seluas itu tersebar di 11 desa yang berada di Kecamatan Bayan dan Gangga. “Dari lahan seluas itu kami bisa memanen sekitar 3000 ton porang basah per musim,” terang Puguh.

Bisinis porang yang menggiurkan mengalami perubahan. Bisnis menjadi lesu karena harga jual porang meluncur turun hingga Rp2.500 per kg dari sebelumnya Rp8.000 per kg.  

Untuk bisa meningkatkan kembali harga jual perlu dilakukan penelitian, terutama mencari tahu keinginan pembeli porang. Dari riset diketahui bahwa para pembeli lebih menyukai porang kering karena lebih awet. Bukan berarti porang basah tidak diminati, hanya saja jumlahnya tidak terlalu banyak dibanding porang kering. Nantinya porang kering dapat diolah menjadi tepung sehingga bisa diolah menjadi makanan.

Beras Porang

Melihat perubahan permintaan pasar dan keinginan untuk meningkatkan pendapatan petani, Puguh berusaha membuat produk turunan. Kali ini porang yang telah dipanen tidak serta merta dijual dalam keadaan basah. Porang-porang akan dicuci bersih lalu diiris tipis. Seluruh proses dikerjakan dengan mesin. Baru setelah itu lembaran tipis porang akan dijemur di atas para-para yang terbuat dari kasa.

Untuk proses pengeringan porang bisa dilakukan dengan dua cara, menjemurnya langsung di bawah sinar matahari atau menggunakan oven. “Porang yang dikeringkan disebut chip. Untuk mengeringkan porang, petani lebih menyukai sistem penjemuran di bawah sinar matahari karena biayanya lebih rendah dibandingkan memakai oven,” papar Puguh.

Chip yang dihasilkan dapat langsung dijual ke pembeli, tetapi Puguh berupaya untuk mengembangkannya agar nilai ekonomisnya bertambah. Salah satunya dengan mengubah chip menjadi beras porang. Ada alasan tertentu mengapa Puguh bersikukuh membuat beras porang. Dari penelitian yang dilakukan para akademiki diketahui kalau bahan pangan ini kandungan karbohidrat dan kalorinya lebih rendah dibanding beras putih.

Dalam 112 gram beras porang mengandung 115 kalori dan 4 gram kabohidrat. Sedangkan 100 gram beras putih mengandung 123 kalori dan 30 gram kabohidrat. Memang harga jual beras porang lebih mahal dibanding beras putih. Harga beras porang dipasaran paling murah Rp618.000.

Tingginya harga beras porang diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup petani porang. Namun, hal ini masih terus diperjuangkan karena koperasi Berkah Gumi Lombok belum bisa mengolah chip menjadi beras porang di Lombok. Selama ini proses pembuatan beras porang masih dilakukan di Jawa.

“Jadi chip akan dikirim ke Jawa untuk diolah di pabrik. Nanti baru dikemas dan dipasarkan. Saya berharap suatu saat bisa mengolahnya di Lombok dengan begitu bisa menekan biaya kirim,” akunya optimis.

Menjadi Binaan Astra

Melihat potensi hasil pertanian yang besar di Lombok Utara, tahun 2018 Astra ikut membantu mengembangkan potensi pertanian di Lombok Utara dengan menetapkan Lombok Utara sebagai Desa Sejahtera Astra (DSA).

DSA merupakan salah satu program tanggung jawab sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility PT. Astra International TBK. Ada empat pilar utama yang menjadi fokus yaitu Astra sehat (kesehatan). Astra hijau (lingkungan), Astra Cerdas (pendidikan, dan Astra Kreatif (kewirausahaan).

Untuk mendorong proses produksi porang, Astra memberikan bantuan berupa mesin untuk mencuci dan mencincang porang. Astra juga memberi pelatihan baik manajerial, produksi, kemasan dan menjadi jembatan dibidang pemasaran. Hingga akhirnya tahun 2020 DSA Lombok Utara berhassil mengekspor porang ke Tiongkok dengan nilai transaksi mencapai Rp250 juta.

Tidak berhenti sampai disitu, Astra terus mendampingi para petani Lombok Utara. Tidak hanya memberikan peralatan, Astra juga berupaya mengenalkan beras porang ke pembeli melalui berbagai pameran. Diharapkan beras porang produksi DSA Lombok Utara dapat diterima oleh masyarakat. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti Lombok Utara menjadi produsen beras porong untuk dunia. Semua bisa diwujudkan dengan bergandengan tangan, petani, koperasi, Astra, dan Pemerintah daerah karena Kita Satu Indonesia.

#LFAAPADETIK2024

  

Referensi

https://lombokpost.jawapos.com/ekonomi-bisnis/1505071685/porang-lombok.utara-miliki=prospek=cerah=produktivitas-terus-digenjot

www.instagram.com/paaguyubankba

 www.kompas.tv/klik

 

Komentar