Mengunjungi Museum Nasional Pasca Kebakaran Tahun Lalu

koleksi museum nasional
Siwa Mahadewa Koleksi Museum Nasional (dok. pribadi)

 

Hitam, bukan putih. Dia menguasai ruangan dengan gegap gempita. Memeluk mereka yang ada di sana untuk melihat keindahan dengan nyata.

Pendingin ruangan dan ayunan lembut kendaraan saat melintas di jalan bebas hambatan, berhasil melenakan saya selama beberapa menit. Kesadaran itu kembali saat mini bus yang saya tumpangi mengurangi kecepatan. Rupanya perjalanan hampir berakhir. Dari kejauhan Gedung Patra Jasa, tempat pemberhentian terakhir armada travel yang saya tumpangi, sudah terlihat gagah. Perjalanan dari Kota Serang berakhir dengan aman.

Begitu menjejakkan kaki, saya melirik barisan angka di layar gawai. Baru pukul 10.00, masih terlalu dini untuk sampai ke tempat pelatihan di Cikini. Sayang jika berdiam diri.

Ah, desah saya. Saya tahu harus ke mana. Tanpa menunggu, ibu jari dengan cepat menggulir layar dan memesan layanan kendaraan online. Sesaat setelah mendapat kendaraan, saya bergegas menuju tepi jalan agar supir lebih mudah menemukan calon penumpangnya.

Delapan menit kemudian sebuah sigra hitam berhenti. Tanpa banyak cakap saya menghempaskan tubuh di atas kursi berwarna serupa dengan cat kendaraan. Pelan-pelan kendaraan membelah jalanan kota yang dulu adalah ibukota negara. Lajunya tak terhambat, dari balik jendela saya menikmati pepohonan, kendaraan, gerobak penjual makanan, satu dua orang petugas negara, orang-orang yang bergegas sembari menatap gawai, dan langit berwarna abu-abu.

Selamat Datang

Ketika melihat patung kuda dan Monas, saya segera menyiapkan tas ransel. Tujuan sudah dekat. Tidak lama berselang, taksi online itu berhenti tidak jauh dari pintu masuk gedung berwarna putih dengan patung gajah di bagian depan. Gedung yang sempat ditutup karena mengalami kebakaran hebat pada september tahun lalu, kini mulai membuka diri.

Indra penglihata saya menyusuri setiap bagian muka gedung, mencermatinya untuk menemukan perubahan yang terjadi. Sia-sia. Wajahnya tetap sama. Pilar-pilar besar masih menopang atap dengan gagah. Karya perupa Indonesia berjudul “Ku Yakin Sampai di Sini” tetap berada di tempatnya. Lihat, Patung perunggu dengan semburat warna hijau seakan menjabat tangan saya dan mengucap “Selamat Datang”.

Berbekal tiket berupa kertas dengan barkode seharga Rp25.000, saya memasuki Museum Nasional. Saat pintu otomatis membuka, aura perubahan mulai terasa. Intensitas cahaya terasa kuat namun lembut saat memasuki ruang penyimpanan arca. Arca-arca itu seperti among tamu yang mempersilahkan setiap orang untuk masuk ke ruangan tempat acara berlangsung.

Di ujung, tepat menghadap ke taman, berdiri gagah Arca Bhairawa. Bagian kakinya masih seperti dulu, tampak aus bekas usapan orang-orang yang mengaguminya. Mata saya menelusuri setiap lekuk pahatan, menyapu lembut kenangan yang tertinggal bertahun lalu ketika pertama kali melihat sosoknya yang besar. Rasanya tidak ada yang berubah, namun apakah saya salah, seperti ada sapuan jelaga di tubuhnya. Mungkinkah peristiwa kelam itu juga terekam olehnya?

Pertanyaan itu menetap di kepala meski kaki melangkah dan mata memandang arca-arca di selasar sebelah kiri taman arca. Sekelabat ingatan muncul, dulu dibalik pintu besar itu tertata beragam koleksi. Kini pintu itu tertutup rapat.

Bingkai Hitam

Tidak jauh dari jendela berwarna abu-abu, saya berhenti dan melihat kusen tanpa daun pintu. Layaknya tangan yang terbuka, dia mengundang saya untuk masuk ke dalam. Ruangan berukuran kecil itu hanya menyimpan dua arca berukuran kecil. Inilah ruang antara yang mengantar saya menuju ruang lain, ruang yang dulu digunakan untuk memamerkan benda prasejarah dan keramik.

Kini, ruangan itu memajang kusen kayu yang terbakar dan atap tanpa plafon. Sisa-sisa amukan api masih meninggalkan jejaknya. Tampak daun jendela berwarna hitam karena kayu berubah menjadi arang.

Api memang bisa mengalahkan kayu, tapi tidak mampu menghancurkan batu. Bahan alam berukuran besar itu tetap berdiri. Memang beberapa bagian di permukaannya tampak tidak utuh, namun bentuknya masih terlihat jelas. Saya tidak tahu apakah batu tersebut merupakan prasasti atau benda koleksi khusus karena tidak ada keterangan yang menyertai.

Meski sisa kebakaran terlihat jelas namun ruangan itu terbilang bersih. Sementara ruang di sebelahnya berisi puing-puing bangunan. Di atas puing tergeletak alat pemadam kebakaran. Tabung berwarna merah itu seakan bercerita bahwa dia tak kuasa membendung terjangan api. Jujur, instalasi itu menyisakan kisah pilu untuk Museum Nasional dan pengunjung.

Bangkit Kembali

Bersedih-sedih tentu bukan pilihan, jauh lebih baik bangkit dan memperbaiki apa yang rusak dan hilang. Selama masa “berkabung” untuk sementara pintu gerbang ditutup. Benda-benda koleksi kembali di data. Para ahli bekerja keras menyeleksi, mendata, dan memperbaiki kerusakan pada benda koleksi. Meski masih terus berbenah, saya bisa melihat proses perbaikan itu di ruang Menabuh Nekara Menyiram Api.

Tak ingin terburu-buru, saya membaca narasi tentang peristiwa kelam setahun lalu yang disusun dengan baik di sepanjang ruangan. Alurnya tidak melulu datar namun berkelok, membuat rasa bosan sirna. Di sini juga di pamerkan beberapa koleksi yang selamat dari kebakaran.

Sepanjang perjalanan di ruang pamer, saya baru sadar kalau warna yang digunakan menimbulkan semangat. Warna merah solidnya bukan lagi mewakili api, tetapi menggambarkan kekuatan untuk menyongsong era yang baru.

Hitam Menguatkan

Aura kegembiraan menyelimuti saya meski telah beranjak ke ruang pamer di gedung A. Tetapi raut muka saya seketika berubah, tidak ada lagi warna cerah. Dinding-dinding ruang pamer terlihat gelap seperti langit malam tanpa bulan. Saya terdiam, berusaha mencerna perubahan yang terjadi di depan mata.

Sayup-sayup suara gamelan bali memenuhi indra pendengaran, mengajak saya untuk duduk di depan sebuah layar besar. Di sana terlihat animasi warga sebuah kampung tengah menari. Ah, kini saya mengerti. Warna hitam ternyata digunakan untuk menguatkan objek yang dipajang.

Perubahan warna juga memberi tanda bahwa inilah ruang pameran repatriasi. Pameran ini bersifat temporer. Berlangsung sejak 15 Oktober hingga akhir tahun, masih cukup lama, masih cukup waktu untuk teman-teman yang ingin datang melihat koleksi di Museum Nasional.

Sekarang saya memasuki ruangan yang memajang koleksi dari Bali. Di samping pintu masuk tertata lukisan-lukisan cantik bergaya Bali. Semakin ke belakang, koleksinya bertambah dengan patung-patung kayu karya pemahat Bali.

Warna gelap dan penataan cahaya yang baik berhasil memanjakan indra penglihatan. Saya bisa berlama-lama menelusuri setiap lekuk koleksi yang dipamerkan. Langkah saya terhenti cukup lama di depan sebuah keris yang indah.

Keris Klungkung yang diyakini milik Dewa Agung Jambe II ini memiliki gagang berlapis emas. Selain itu gagang diukir dengan sosok Bhatara Bayu, Dewa Penguasa Angin. Keris ini dipakai oleh Raja untuk berperang melawan Belanda. Gugurnya sang penguasa menyebabkan  keris tersebut dibawa ke Belanda. Pada 10 Juli 2023, benda bersejarah itu kembali ke Indonesia.

Saya kembali melangkah, mengagumi setiap koleksi yang ditampilkan. Beragam patung perunggu, topeng kayu, kain, hingga akhirnya saya berhenti. Indra penglihatan saya seperti tidak mau berkedip ketika mendapati Kiai Gentayu, sebutan untuk pelana kuda milik Pangeran Diponegoro.

Bentuknya masih sangat terpelihara meski usianya sudah tidak lagi muda. Perawatan yang baik membuat kain pelapis pelana dan besi untuk pijakannya masih terlihat baik. Dari keterangan yang ditempatkan di depan koleksi, Kiai Gentayu merupakan pelana kuda milik Pangeran Diponegoro. Pelana ini dipersembahkan kepada Raja Wilem I sebagai hadiah kemenangan. Tingginya nilai sejarah Kiai Gentayu membuatnya masuk sebagai koleksi Koninklijke Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) atau Koleksi Langka Kerajaan di Belanda.

Selama lebih dari satu jam saya melihat beragam koleksi dari Bali dan Pangeran Diponegoro, beragam koleksi dari Lombok, koleksi Museum Nusantara Delft, koleksi Nagarakartama, dan Arca Singosari. Sebenarnya masih ingin berlama-lama, tetapi waktu sudah mendekati tengah hari. Sudah saatnya menuju tempat pelatihan untuk memulai pelajaran. Lain kali saya akan kembali. Senang rasanya melihat Museum Nasional tersenyum lagi.

 Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI 

Baca juga:

Retuntuhan itu adalah Keraton Surasowan

Membaca jejak cinta, 20 tahun berlalu yang menakjubkan

Merespon isu penataan aliran sungai cibanten

Kelap-kelip dari balik kamar hotel Le Meridein Jakarta


Komentar