pada tanggal
Review
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
buku Jejak cinta 20 tahunn berlalu karya Maya Lestari GF (dok. pribadi) |
Pelukis itu telah meninggalkan jejak di berbagai
belahan dunia. Melihat berbagai keindahan alam, menyesap aroma kelezatan, namun
berakhir dengan kehampaan. Pencariannya belum bisa menyingkap penyebab, mengapa
dia tak berani mengungkap rahasia hatinya pada sosok lembut berlesung pipit.
Siang ini, saya merutuki diri sendiri karena tidak
mengikuti kata hati. Bukan, bukan untuk melakukan perjalanan seperti pelukis
ternama itu, tetapi untuk tidak pergi ke bilik kecil. Di sana berjejer
mesin-mesin yang mampu mengeluarkan lembaran kertas berwarna merah dan biru.
Kertas-kertas dengan gambar, garis pengaman, dan
torehan angka yang menunjukkan nilai tukarnya. Kertas yang didambakan banyak
orang untuk bisa memiliki sesuatu. Lembaran yang bernama uang.
Jika saya mengikuti intuisi, tentu saat ini ada buku
lain, selain “Jejak Cinta, 20 Tahun Berlalu” yang baru tuntas saya nikmati. Ah,
penyesalan memang selalu datang kemudian. Lain waktu dengarkanlah perkataan
dari diriku yang lain.
Ketimbang membuat teman-teman bertanya, sebaiknya saya
menjelaskan mengapa membaca novel karya Maya Lestari GF begitu menakjubkan.
Kisah dimulai dari sebuah keluarga besar yang hangat.
Mereka saling memperhatikan, menjaga, menyayangi, dan mendukung. Bersama-sama
mengasuh anak-anak, cucu untuk kedua orangtua, dalam rumah besar milik
keluarga.
Tawa dan canda, terkadang sedikit tangis, mewarnai
kehidupan keluarga Hadison. Tetapi kali ini senyum dan tawa sepenuhnya
menguasai kehidupan anak beranak Hadison. Paman yang telah lama tak pulang akan
datang. Bukan untuk melepas kerinduan pada Ibunda tersayang, namun menemukan
bagian hidup yang akan melengkapi dirinya.
Apapun alasannya, kepulangan laki-laki yang kini
menjadi pelukis terkenal itu patut disambut. Semua bergembira, termasuk
Abbigail dan Keegan yang diamanahi untuk menemani sang paman Benhard ke
Sumatera Barat.
Dibanding semua anggota keluarga Hadison, Abby dan
Keegan dianggap memiliki waktu yang fleksibel. Mereka tidak bekerja secara
ketat sejak pukul 8 hingga 5 sore, seperti karyawan umumnya.
Keegan, sebagai pemilik usaha travel, dapat
berkeliling dengan leluasa. Sedangkan Abby bisa mengawasi sekolahnya dari jauh.
Selain itu Paman Ben tengah mencari seorang perempuan, tentu perlu kehadiran
Abby untuk memudahkan bertanya pada warga setempat. Kesepakaan seluruh keluarga
besar sudah bulat. Apapun yang terjadi, kedua sepupu itu harus menjalankan
tugas dengan baik.
Sehari setelah Paman Ben tiba, perjalanan dimulai.
Burung besi mengantar paman dan keponakan menuju Minangkabau. Dari sini pencarian
dimulai. Keegan sepenuhnya menjadi pengemudi, pengatur akomodasi, hingga
pencari informasi yang andal.
Sementara Abby, tak banyak yang dilakukannya selain
bersandar dan bergelung di jok tengah mobil. Paman Ben sendiri menjadi bintang
yang tidak tahu di mana tempat tinggal Rinjani, perempuan yang dicarinya.
Laki-laki berkumis tipis itu hanya tahu harus mendatangi Herman, teman
sekolahnya dulu, di Mandeh.
Proses pencarian yang dilakukan Paman Ben, benar-benar
proses mencari sebenarrnya. Di tengah kemudahan dalam melakukan komunikasi,
justru hal itu tidak didapat. Herman kerap tidak dapat dihubungi karena
terhalang sinyal, nomor telepon Putri (yang pernah bertemu Rinjani) tidak
diketahui.
Mau tak mau Paman Ben harus bertemu muka dengan Herman
agar bisa menemukan Putri. Perjalanan yang tidak mudah sebab harus melintasi
Mandeh, Payakumbuh, dan Bukittinggi. Tanpa mandi dan tidur yang layak karena
Paman Ben tak mau membuang waktu sedetik pun. Rinjani harus segera ditemukan.
Pencarian ini harus dituntaskan.
Bepergian dari kota ke kota tanpa istirahat yang cukup
menimbulkan rasa lelah. Teka-teki yang belum terungkap dan kulit lengket karena
tidak mandi, semakin memperburuk keadaan. Di bawah jam gadang, Abby tanpa sadar
menyentil ego sang paman. Bahwa kepergian Paman Ben ke Leiden untuk menjadi
pelukis membuat karyanya bisa dipajang di berbagai galeri terkenal di dunia.
Deraan rasa lelah bercampur putus asa menyulut
kemarahan Paman Ben hingga membuat Abby menanggis. Dengan keras laki-laki yang
senang memakai syal itu mengatakan bahwa uang bukanlah segalanya. Uang yang
dimilikinya membuatnya merana dan menderita. Ia juga tidak tahu apakah Rinjani
masih ingat dan mau bertemu dengannya. Ia hanya tahu bahwa inilah saat yang
tepat untuk mencari perempuan itu dan membantu teman-teman yang dulu
mengajarinya melukis.
Memang sih, Abby juga yang memulai. Tanpa tedeng
aling-aling ia melontarkan pertanyaan yang seharusnya tidak diucapkan,
bagaimana jika Rinjani tidak ingat pada Paman Ben? Bagaimana jika Rinjani tidak
mau menerima kehadiran teman sekelasnya dulu?
Pertanyaan itu terlontar karena Abby tidak mau Adek
Ibunya sedih dan kecewa. Tidak semua perempuan yang ditinggal pasangannya mau
memulai hubungan lagi, pun pada teman mainnya dulu.
Paman Ben tahu betapa keras batu karang yang akan
dihadapi. Pelukis tersohor itu tahu penolakan bisa saja terjadi. Tetapi,
laki-laki bertubuh kurus itu memilih untuk menemukan jawaban dari Rinjani.
Seketika hubungan paman dan keponakan menjadi dingin. Suhunya
lebih rendah dibanding kota Bukittinggi usai diguyur hujan. Seiring bergulirnya
waktu, senyum yang semula hilang kembali hadir. Raut bahagia tidak hanya menghiasi
wajah Paman Ben, tapi juga Abby dan Keegan. Perjalanan itu menyingkap banyak
cerita yang berakhir dengan senyuman.
Letupan emosi para tokoh terasa naik turun. Namun
demikian saya tidak merasa lelah. Justru semakin jauh tertarik dalam pusaran kata
yang dpilih oleh penulis. Saya seakan ikut serta dalam perjalanan mencari
Rinjani.
Ikut menghirup aroma manis rempah-rempah yang menguar
dari warung makan saat memasak rendang, kalio, gulai tunjang, bubur kampiun,
dan sambal untuk keripik balado. Merasakan hangatnya teh telur saat kabut turun
di Mandeh. Lalu terkejut melihat keindahan Lembah Harau yang terpampang di
depan mata.
Ketika menutup lembar terakhir buku setebal 290
halaman dan diterbitkan oleh Pastel Book itu saya merasa takjub. Bagaimana penulis
merajut cerita yang indah dan apik dengan mengusung kearifan lokal nan kuat
sehingga pembaca terbuai. Ah, tak salah kalau saya merasa rugi karena tidak
memiliki buku lain karya Maya Lestari GF. Sebab saya ingin tenggelam dalam kejutan
di kisah lainnya.
baca juga
putri bilang, sombonglah dengan tepat
kelap kelip dari balik kamar hotel le meridiean jakarta
ketika para penulis buku berkumpul di gln
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.