Ada Rumah Di atas Gua

Kegelisahan Yang Diungkap Melalui Seni Olah Tubuh

 

Komunitas Kembali Indonesia menampilkan fragmen segare
Komunitas Kembali Indonesia menampilkan Fragmen Segare (dok. pribadi)


Apakah kisah sebuah perjalanan suatu wilayah dapat diangkat menjadi cerita dan ditampilkan pada pertunjukan teater?

Semalam, saya seperti mendengarkan dan melihat beragam cuplikan kisah terbentuknya daerah Lontar di Serang, Banten. Lontar merupakan perkampungan nelayan yang berada di pesisir pantai. Ada delapan kampung yaitu Lontar, Margiyasa, Kepaksaan, Kampung Sawah, Berangbang, Kampung Baru, Sukadiri, Pekandangan, dan Kebalikan.

Nama-nama kampung di sana rupanya berawal dari kisah lama. Sebutlah Kampung Pekandangan yang diduga dulu merupakan tempat kandang hewan ternak. Ada juga Kampung Pecinan yang dihuni oleh warga tionghoa dan warga lokal.

Mereka hidup dengan rukun dan saling membantu. Kehidupan di kampung digerakkan oleh kegiatan perdagangan. Seorang warga tionghoa bahkan dikenal memiliki sifat dermawan. Kerap memeriahkan lebaran dengan memberikan sumbangan untuk warga.

Mungkin, dari sinilah kekayaan bumi Lontar melanglang negeri. Roda kehidupan dan ekonomi berputar. Hasil pertanian, perikanan, dan perdagangan berjalan beriringan.

Sayang, kehidupan berubah. Sebuah peristiwa yang tidak diketahui penyebabnya membuat segalanya berubah. Peristiwa itu dikenal dengan nama gedoran cina. Peristiwa yang tidak diketahui tahun kejadiannya, namun terus dituturkan secara turun temurun, menyebabkan perginya warga tionghoa.

Sejak itu warna yang tertinggal hanya satu. Warna lain menghilang. Jejak keberadaan warga tionghoa hanya sebuah rumah besar milik keluarga tionghoa dan beberapa bong cina yang merana. Rumah dengan pagar tinggi itu dalam keadaan terkunci. Tidak ada yang mau masuk ke dalam. Sementara bong cina letaknya semakin tak karuan. Tanah tempatnya berpijak sudah tergerus ombak. Air laut tanpa ampun membawa tanah menjauh. Menyatu dengan air keruh bercampur garam.

Penggerak ekonomi berkurang. Warga mengandalkan petanian dan perikanan. Kapal, jaring, dan ikan mewarnai kampung. Tetapi ada kesedihan yang terasa karena tidak bisa mengadakan selamatan untuk hasil laut yang diperoleh.

Hubungan batin antara manusia dan alam seperti terputus. Semakin berjarak saat sungai mendangkal dan pasir menghilang. Butiran-butiran halus itu berpindah tempat. Menyisakan kerusakan alam. Ikan menghilang. Sampah mendominasi pantai dan daratan. Nelayan merana.

Fragmen kehidupan masyarakat Lontar ditangkap para seniman dengan apik. Kegelisahan terhadap hilangnya pasir dan kerusakan lingkungan ditampilkan dalam bentuk teater. Para pemain menyampaikannya lewat olah tubuh dan narasi.

Suara yang keras menyatakan kemarahan akan pengerukan pasir laut. Tubuh yang terduduk menyiratkan ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan. Mata yang tajam seakan meneriakan gugatan akan izin yang tidak pernah mereka setujui.

Tangan yang menengadah memanjatkan doa pada Yang Kuasa. Memohon agar usaha perlawanan mereka mendapat kemudahan. Agar ikan dapat kembali, abrasi tak semakin mendekati.

Para pemain teater tidak hanya memanfaatkan tubuh untuk menyampaikan kegelisahan. Kehadiran kerang, pasir, dan ikan asin turut menguatkan fragmen Segare. Bau asin dan gemerincing kerang mengajak imajinasi bertualang ke Lontar. Lontar yang kaya akan keindahan alam dan ikan. Bukan Lontar yang kehilangan alamnya.

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.

Komentar