Membaca Jejak Cinta, 20 Tahun Berlalu Yang Menakjubkan

Ada Rumah Di atas Gua

 

banten girang
situs banten girang (dok. pribadi)


Masa lalu dapat menjadi pelajaran untuk masa depan. Tetapi apakah pelajaran itu tetap bisa memperkaya pengetahuan jikaa tidak terjaga.

Setelah tiga bulan bertugas di Kota Serang, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di sebuah situs Cagar Budaya. Situs ini bernama Banten Girang. Letaknya di jalan Banten Girang, nama yang sama dengan situs tersebut, Sempu Kota Serang.

Letaknya tidak terlalu jauh dari jalan besar. Sekitar 500 meter dengan jalan yang bagus. Memang kontur jalannya menurun dan menanjak, tetapi tidak ekstrim. 

Sebenarnya letak situs tidak terlalu jauh dari kantor Dinas setempat. Hanya panas yang aduhai membuat saya memilih menggunakan ojek untuk menuju ke sana. Dalam lima menit saya sudah tiba di depan sebuah bangunan. Inilah salah satu bagian dari Situs Banten Girang.

Dari depan gerbang bertuliskan Makam Ki Mas Jong dan Ki Agus Jo, saya melihat sebuah bangunan seperti rumah dengan pintu kaca. Halaman yang luas dengan pohon beringin besar itu tampak sepi.

Langkah kaki membawa saya mendekati bangunan. Benar, bangunan itu melindungi makam Ki Mas Jong dan Ki Agus Jo, dua orang yang pertama memeluk Islam di Banten. Di sekitar bangunan terlihat beberapa makam lama. Bentuk nisan yang khas menjadi penanda.

Tidak ada orang di sekitar bangunan. Daun-daun kering dari pohon beringin menghiasi halaman yang biasa dijadikan lahan parkir para pengunjung atau peziarah. Sepertinya hari ini tidak ada peziarah yang datang.

Kaki kembali melangkah mendekati tiang besi besar di dekat pintu masuk. Rupanya tiang itu merupakan penyangga dari bagian atas jembatan gantung. Sarana penyeberangan itu sudah tidak berfungsi karena rusak. Banjir besar yang melanda kawasan ini menghantam dan memutuskan salah satu tali jembatan gantung. Sampai sekarang tali itu tidak diperbaiki. Mungkin karena tepat di sebelahnya telah berdiri jembatan yang lebih besar.

Rumah di atas Gua

Dari komplek makam, saya menyeberang ke sebuah gang. Mau melihat gua dan punden berundak Banten Girang. Jalanan yang tersusun dari susunan paving block itu agak menanjak. Tidak ada petunjuk letak gua dan punden berundak.

Mencoba melihat peta digital untuk mengetahui letak kedua situs tersebut, sayangnya tidak membantu. Situs itu tidak terdata di peta digital. Otomatis saya harus bertanya pada masyarakat. Namun, situasi sangat sepi. Tidak ada orang yang keluar dari rumah. Saya jadi menyusuri gang-gang sambil mencari-cari, siapa tahu ada orang keluar dari rumah.

Tiba-tiba seorang anak kecil keluar dari rumah di dekat turunan. Cepat-cepat saya menghampiri untuk bertanya. Anaknya memang tidak menjawab, namun seorang perempuan menyahut dari dalam rumah. Dia mengatakan agar saya mengikuti jalan yang menurun lalu belok ke kanan. Nanti saya bisa melewati jalan di samping gardu. Letak gua ada di belakang gardu.

Seketika wajah saya dipenuhi senyum. Setelah mengucap terima kasih saya mengikuti petunjuk dari si ibu. Ternyata kejutanlah yang saya dapati. Jalan di samping gardu sudah ditutup.

Untunglah ada seorang bapak yang memberitahu kemana saya harus berjalan. Harus kembali ke atas dan berbelok ke kiri, melewati samping rumah penduduk, lalu berbelok ke kiri lagi. Lagi-lagi saya mengikuti petunjuk. Agak deg-degan juga karena khawatir jalannya buntu lagi.

Wuih, jalannya curam juga. Lagi-lagi saya melewati depan sebuah rumah. Jalannya kecil, tidak bisa berpapasan. Untungnya jalan ini berada paling ujung. Ketika berbelok, tahu-tahu saya sudah ada di atas gua.

Rupanya akses menuju gua di Banten Girang justru melalui bagian atas gua. jujur, saya kaget sekali. Bagaimana mungkin akses menuju situs penting ini justru berada di atas tinggalan yang harus dijaga dengan baik.

Menepis rasa kaget, saya berjalan menuju area gua. Saya mengapresiasi warga yang menjaga kebersihan area gua. Bagian depan gua terlihat bersih karena di sapu. Anak-anak dengan gembira dapat bermain di situ.

Ditemani suara anak-anak yang berceloteh gembira, saya memandang situs cagar budaya berusia ratusan tahun. Ada rasa kagum juga sedih.

Kagum karena situs ini masih ada. Dari beberapa informasi yang saya baca, saya mengetahui kalau Situs Banten Girang diperkirakan merupakan ibukota kerajaan hindu. Dahulu ada pelabuhan yang ramai didatangi pedagang. Mereka membeli lada dari Banten.

Perihal keberadaan gua yang dibuat dengan cara memahat tebing batu vulkanik, disinyalir digunakan oleh Pucuk Umun, adipati Kerajaan Pakuan Pajajaran, untuk bersemedi. Gua ini terdiri dari 3 ruangan, 2 ruang berada di depan dan ruang lainnya di dalam. Ukurannya sekitar 1,5 meter dengan tinggi yang mencukupi.

Tidak jauh dari gua terdapat punden berundak. Dahulu punden berundak merupakan bangunan suci untuk memuja roh leluhur. Berjalannya waktu dan perubahan kondisi di sekitar situs cagar budaya membuat kondisi punden berundak berubah. Tidak lagi terlihat bangunan bertingkat khas punden berundak, hanya ada gundukan tanah berhias rumput liar.

Merananya situs Banten Girang disinyalir terjadi karena peperangan. Jejaknya tercatat di teks berbahasa Sunda “Cerita Parahyangan”. Serangan itu dilakukan oleh pasukan Kerajaraan Pajajaran ke pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara. Peperangan itu diperkirakan terjadi tahun 1400.

Besarnya nilai sejarah dan pendidikan yang tersirat pada situs Banten Girang, sepertinya kurang diabaikan oleh masyakarat. Kondisi situs memang bersih dari sampah, saya sangat mengapresiasi hal ini. Di sisi lain saya merasa miris dan sedih karena tepat di atas gua berdiri rumah berlantai dua.

Menurut Undang-Undang No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, situs cagar budaya harus dilindungi. Tidak hanya dari coretan tangan usil, penjarahan, dan pengrusakan, tetapi juga dari batas terdekat dengan bangunan atau rumah penduduk.

Meski gua di Banten Girang terbuat dari batu vulkanik, namun keberadaan rumah di atas gua akan memengaruhi struktur gua. Rasanya sedih sekali melihat kenyataan ini. Entah bagaimana hal ini bisa terjadi.

Sudah semestinya kita lebih peduli dan tidak bersikap abai pada warisan budaya bangsa. Keberadaan situs tersebut dipelihara dan dijaga dengan baik oleh semua pihak, masyarakat dan pemerintah agar tidak hilang.

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI 


Baca juga:

kegelisahan yang diungkap lewat seni 

merespon isu 

putri bilang, sombonglah dengan tepat

berkunjung ke danau tasikardi

Komentar