pada tanggal
#sidomuncul #bulking #gym #makananbulking
Review
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
ilustrasi dengan canva |
Jangan lengah. Ya, jangan lengah sama kemudahaan saat melakukan transaksi secara online. Sembarangan klik, bisa jadi bagian dari 3709 perkara kejahatan siber di Indonesia. Berani #BilangAjaGak dan lindungi data pribadi merupakan koentji agar terhindar dari soceng.
Pagi itu suara lalu lalang kendaraan terdengar riuh.
Suara knalpot motor beradu keras dengan jeritan sirene ambulan. Dari kejauhan,
suara konser mesin kendaraan yang keras menggambarkan keadaan jalan raya sangat
sesak. Semua ingin segera melaju agar bisa sampai di tempat tujuan.
Keriuhan itu terasa kontras dengan suasana di dalam sebuah
tempat ibadah yang berada di tepi jalan Salemba. Nyaris tidak ada yang
berbicara walaupun beberapa Ibu duduk menyebar di area tempat ibadah khusus
wanita. Sebagian Ibu masih menggunakan mukena, duduk tertunduk sambil membaca
sesuatu. Ibu-ibu yang lain asyik menekuri Hp untuk mengusir rasa kantuk dan
bosan.
ilustrasi dengan canva |
Semula tidak ada komunikasi antar mereka, semua sibuk
dengan dunianya masing-masing. Larut menghibur diri agar tidak jenuh karena
menunggu anak-anak menjalani ujian. Tetapi, sebagai makhluk sosial, pelan-pelan
komunikasi terbangun antara saya dan dua orang Ibu, Ibu Tati dan Ibu Dwi.
Keduanya tinggal di Bekasi.
Dari perbincangan mengenai tempat tinggal, tanpa kami
sadari mengalirlah beragam topik obrolan. Kegiatan berbagi kisah semakin seru
setelah Ibu Tati bercerita soal usaha penjualan peralatan listrik miliknya.
Bagaimana pola belanja pembeli berubah sejak covid melanda. Sebagian besar pembelian
dilakukan secara online, pembayaran pun menggunakan scan barcode tertentu. “Bayar
sekarang tinggal klik, nggak repot bawa uang kayak dulu,” terangnya singkat.
Praktis tentu saja, Ibu Tati menyukai cara pembayaran
tanpa uang tunai karena tidak repot mencari uang kembalian. Tetapi, tiba-tiba
nada suaranya terdengar berbeda. Rupanya Ibu Tati menyimpan rasa khawatir jika
ada orang berniat tidak baik. Bukankah saat ini tengah marak kasus Social
Engineering Attack. “Bisa-bisa, uang di rekening habis. Sudah mengumpulkan
susah payah, eh lenyap begitu saja. Amit-amit, jangan sampai,” cetusnya dengan
nada khawatir.
Soceng memang tengah jadi buah bibir, terutama sejak
kasus undangan palsu mencuat. Begitu tautan tersebut di klik, seketika data
pribadi diketahui dan bisa disalahgunakan. Soceng memang kejahatan yang
dilakukan dengan memanipulasi, memengaruhi, atau menipu korban agar memberikan
kode tertentu yang digunakan untuk mengendalikan sistem komputer. Para pelaku
Soceng menginginkan informasi pribadi dan keuangan seseorang dengan
memanipulasi psikologis korbannya.
Penuturan Ibu Tati membuat saya tersenyum kecut. Bukan
apa-apa, saya pernah secara tidak sengaja terkena Soceng. “Saya pernah terkena
soceng. Untung yang kedua kali saya sadar dan menolak tawaran yang diberikan,”
aku saya sambil memperhatikan putra Bu Tati bermain gim.
Kejadiannya tahun lalu, bulannya saya sudah lupa.
Waktu itu saya belum lama mengaktifkan aplikasi telegram karena akan mengikuti
kelas keterampilan membuat tas. Kelas berlangsung dengan baik, namun tiba-tiba
nomor saya sudah berada di dalam sebuah grup yang mengatasnamakan bank BRI.
Saya tidak curiga karena pengundang menggunakan nama teman saya.
Peserta di grup itu sangat banyak, mencapai ribuan.
Saya diminta untuk mengintal aplikasi Brimo lalu memasukan kode tertentu. “Bodohnya,
saya mengikuti semua intruksi tersebut. Termasuk memberikan kode khusus yang
diberikan bank,” terang saya.
Mendengar pengakuan saya, Ibu Tati dan Ibu Dwi
terdiam. Mereka penasaran dengan kelanjutan cerita saya.
ilustrasi dengan canva |
Beberapa saat kemudian saya baru sadar, mengapa teman
saya tidak pernah berinteraksi di grup. Segera saya menghubunginya dan ketahuan
kalau dia tidak pernah mengundang saya. Dia juga tidak bergabung di grup
tersebut. Rupanya nomor hp-nya sudah di-hack. Seketika rasa panik
melanda.
Cepat-cepat saya matikan dan menghapus aplikasi Brimo.
Tanpa banyak tanya, saya langsung pergi ke bank BRI terdekat untuk melaporkan
kejadian tersebut dan menonaktifkan sementara akun Brimo. Berkaca dari kejadian
tersebut, ketika saya tiba-tiba mendapat pesan di Hp, saya tidak langsung
mengikuti intruksi atau tergiur tawaran yang diberikan. “Kerjanya gampang. Cuma
klik tautan yang diberikan, nanti dapat bayaran. Lah, kok bisa ya? Tapi karena sudah
pernah kejadian, saya langsung tolak tawarannya.”
Saya langsung #BilangAjaGak. Setelah itu pesan saya
hapus dan nomornya saya laporkan dan blokir. Sat set deh.
“Nah, iya Bu. Sekarang harus teliti. Apa-apa harus
dilihat dulu. Untung Ibu langsung tolak ya,” sahut Bu Dwi yang lebih banyak
menjadi pendengar.
Tindakan saya dahulu, memberikan kode khusus ke orang
lain tidak patut untuk ditiru. Sungguh, jangan seperti saya karena secara tidak
langsung saya termasuk 1 dari 3709 korban Soceng. Data dari e-MP Robinopsnal
Bareskrim Polri menunjukkan bahwa sejak 1 Januari hingga 22 Desember pihak
kepolisian berhasil menindak 8.831 kasus kejahatan siber. Jumlah paling banyak
terjadi di Polda Metro Jaya yang berhasil menindak 3.709 kasus.
“Korban soceng banyak juga ya. Ngeri!” kata Bu Tati
dengan nada pelan.
Mendengar pengakuan saya berkaitan dengan Soceng, Ibu
Dwi bersyukur karena telepon gengam miliknya tidak mengunduh banyak aplikasi.
“Mata tua saya sudah nggak sanggup kelamaan melihat layar handphone,
nggak ngerti cara main Instagram apalagi telegram yang rame banget dan
disukai banyak orang.” Di tangan Ibu Dwi handphone bekerja sesuai tugas
utamanya, berkirim pesan dan berbincang.
Saya dan Ibu Tati hanya manggut-manggut. Perkembangan
teknologi memang tidak bisa dihindari dan penggunaannya bisa bersifat positif
atau negatif. Kejahatan soceng tentu saja menggambarkan pemanfaatan teknologi
yang merugikan orang banyak.
“Saya beruntung karena BRI langsung menanggapi dan
membantu menonaktifkan aplikasi Brimo,” kata saya.
Menyadari bahaya soceng, BRI bergerak cepat dengan
membuat sebuah gerakan atau kampanye #BilangAjaGak. Kampanye ini bertujuan
untuk membangun kesadaran nasabah dan masyarakat luas agar bersikap teliti dan
hati-hati.
Kampanye ini digaungkan agar para nasabah terbangun
kesadaran dirinya. Jangan ragu untuk bersikap kritis dan curiga setiap kali
mendapat penawaran dan hadiah yang diberikan.
Melalui kampanye #BilangAjaGak, BRI mengingatkan untuk tidak mendobrak 8 larangan yang sudah digaungkan, yaitu:
Kampanye yang digaungkan oleh BRI tentu
#MemberiMaknaIndonesia dan menyadarkan para nasabah akan pentingnya menjaga
keamanan diri. Secanggih-canggihnya sistem keamanan perbankan, kunci
keselamatan tetap berada di tangan nasabah. Kunci tersebut adalah ketelitian.
“Sekarang jangan sembarangan. Pokoknya harus teliti,
hati-hati, waspada. Semoga kita semua terlindungi dari soceng,” ujar Bu Tati
sebelum beranjak dari duduknya. Rupanya anak-anak sudah selesai mengikuti ujian
dan kami bisa segera pulang.
Acara obrolan ringan para emak pun selesai. Walau sepertinya
pembicaraan itu seperti sambil lalu, tetapi saya, Ibu Tati, dan Ibu Dwi sadar kalau
tameng mengatasi soceng berada di diri kita sendiri. Kolaborasi antara
ketelitian dan kampanye #BilangAjaGak diharapkan dapat menekan angka kejahatan
soceng. Yuk kita tingkatkan kewaspadaan dan ketelitian dan berani #BilangAjaGak
untuk #MemberiMaknaIndonesia.
Ajak anak cinta, paham, dan bangga rupiah
Dulu saat msh kerja di bank HSBC, semua staff tiap tahun wajib ikut pelatihan financial crime seperti ini mba. Wajib tahu jenis2 nya dan cara yg dipakai. Supaya ga terkena. Mungkin kalo orang biasa kena jebakan sorang, msh bisa paham. Tapi yg kerja di bank atau IT terkena juga, itu yg luar biasa 😁
BalasHapusSampe2 management suka random ngetes staff. Dikirimin link ke email kantor mereka. Kalo ada staff yg sampe buka itu link, siap2 aja dia kena surat cinta warning letter dr HRD 😄😁.
Krn prosedurnya kalo ada link ga jelas, ya wajib kita laporin ke IT. Makanya aku terbiasa utk hati2 trima email atau message apapun. Krn bisa aja phishing atau soceng.
Aku twrmasuk suka kawatir dengan kejahatan seperti ini. Padahal sekarang semua serba digital
BalasHapus