pada tanggal
#sidomuncul #bulking #gym #makananbulking
Review
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tempat mandi sungai riam (dok. pribadi) |
Menurut orang-orang zaman dulu, jika seseorang memiliki kaitan
dengan Datuk atau Pangeran Suryanata maka dia harus melakukan mandi sungai
riam. Jika lalai, akan berdampak pada kehidupannya.
Bagi masyarakat Banjar, acara mandi-mandi merupakan ritual yang
dilakukan sebelum menjalani sebuah kegiatan besar, seperti menikah dan
selamatan pada masa kehamilan. Acara mandi-mandi tersebut dilakukan di rumah
dengan beberapa peralatan khusus seperti air yang dilengkapi dengan bunga dan
kembang manggar atau bunga dari pohon kelapa.
Sudah beberapa kali saya mengikuti dan melihat kegiatan
mandi-mandi, namun baru kali ini saya mendapat kabar akan acara mandi-mandi
sungai riam. Dahi saya langsung berkerut karena heran mendengar namanya. Memang
baru kali ini saya mendengar acara mandi-mandi dengan nama itu.
Ketika dikabari, saya tidak berpikir dua kali untuk mengiyakan.
Walaupun diwanti-wanti kalau acara akan dilakukan setelah usai sholat subuh.
Tempatnya di Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru. Kira-kira 15 menit dari rumah
yang berada di Kecamatan Banjarbaru.
Sesuai janji, saya sudah meninggalkan rumah sebelum azan
berkumandang. Jalanan masih sepi. Beberapa motor dan mobil terlihat di jalan
raya, entah menuju ke mana. Saya menikmati suasana kota yang sepi sambil tetap
menjaga kewaspadaan. Terutama saat melewati simpang empat bundaran. Biasanya
bundaran ini ramai oleh kelompok remaja atau perkumpulan sepeda motor. Namun
pagi ini sepi, bisa jadi mereka sudah kembali ke rumah untuk merajut mimpi.
Lampu jalan yang terang menemani perjalanan saya hingga pertigaan
Cempaka. Selanjutnya penerangan berasal dari lampu-lampu rumah penduduk. Tidak
boleh lengah sebab truk-truk melintas dari arah Pelaihari menuju Kota
Banjarbaru atau ke Martapura. Suasana semakin sunyi ketika melewati area
pemakaman umum yang mengapit jalan.
Tenang, tenang. Tetap mengemudi dengan waspada karena jalan
mengecil. Ukuran jalan sedikit melebar selepas pemakaman umum. Suara orang
mengaji mulai terdengar dari pengeras suara yang berasal dari masjid. Motor
terus melaju melewati Masjid Jami Cempaka menuju arah Kampung Pumpung.
Walau termasuk dalam wilayah Kota Banjarbaru, tetapi suasana di
sini sangat berbeda. Deretan rumah kayu membuatnya seperti berada di sebuah
perkampungan. Apalagi lampu jalannya tidak tersebar merata serta tak ada
trotoar pembatas jalan, benar-benar seperti berada di luar Ibukota Provinsi
Kalimantan Selatan.
Sambil melaju, saya memerhatikan betul bangunan dan persimpangan
jalan. Berkendara di siang dan subuh sungguh berbeda. Beruntung beberapa warga
sudah mulai keluar rumah menuju langgar dan masjid untuk melakukan ibadah. Saya
jadi tidak merasa sendiri.
Tepat di pertigaan yang dilengkapi dengan papan petunjuk arah
menuju monumen intan trisakti, saya berbelok masuk. Sepi sekali. Sebagian besar
rumah sudah mematikan lampu. Langit yang seharusnya sudah mulai terang tampak
tetap terlihat gelap. Rupanya awan tebal mengantung. Cepat-cepat saya berbelok
masuk ke sebuah halaman. Pintu yang tertutup rapat terbuka. Saya pun melangkah
masuk. Acara belum dimulai.
Ternyata acara mandi sungai riam tidak dilakukan di rumah. Ibu
pemilik rumah menjelaskan bahwa acara mandi dilakukan di desa Karya Jaya yang
berada di perbatasan Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut. Di tempat orang
yang memang bisa melakukan kegiatan tersebut.
Menurut Ibu tersebut, peralatan untuk acara mandi sungai riam
sangat banyak. Begitu juga dengan piduduk atau sesaji yang harus disediakan
sehingga lebih praktis jika melakukannya di Desa Karya Jaya. Tidak lama
berselang, sebuah mobil datang. Kami segera menuju tempat mandi sungai riam.
Mobil berjalan santai. Melewati jalanan yang belum terlalu ramai. Saya
dan 10 orang penumpang, duduk tanpa banyak bicara. Mungkin semua masih menahan
kantuk atau pikirannya justru sibuk mencari tahu seperti apa ritual yang akan
dilakukan.
Dengan suara pelan saya bertanya pada lelaki yang akan menjalani
ritual tentang apa yang akan dilakukan nanti. Dengan suara tak kalah pelan, seolah
tak ingin orang lain tahu, dia menjawab kalau baru kali ini mengikuti ritual
sehingga belum tahu akan seperti apa. Informasi yang diketahuianya akan banyak
makanan khusus untuk piduduk serta membawa pakaian ganti. Itu saja. Kami pun
tenggelam dalam kesunyian hingga mobil berhenti di sebuah rumah.
Hujan yang turun sejak dinihari tadi memang sudah berhenti, tetapi
air membuat tanah menjadi licin. Rombongan bisa dengan mudah mencapai rumah
pemimpin acara, namun akan kesulitan berjalan menuju Sungai. Laki=laki setengah
baya yang akan memimpin acara memutuskan untuk melakukan ritual di rumah. Ia telah
menyiapkan sebuah tempat mandi khusus di samping rumah.
Memang tadi saya melihat sebuah tempat sederhana. Ada bangku yang
dikelilingi oleh empat buah tiang. Antara tiang pertama hingga ketiga
terbentang tali berwarna kuning. Jika dilihat bentuknya menjadi kotak.
Pada tali tergantung kue berbentuk khusus. Bukan kue cincin
seperti yang pernah saya dapati di acara mandi pengantin banjar. Kue di acara
mandi Sungai riam berwarna putih dan kuning. Pada bagian tiang depan yang
berfungsi sebagai pintu terdapat hiasan janur, seperti pedang, udang, dan
tangga pangeran. Di bawahnya tertancap batang tebu. Sementara di bagian atas tengah
tempat mandi terbentang kain kuning. Bak berisi air dengan kembang mayang
tergeletak di bagian depan. Tak jauh dari tempat duduk.
Berkejaran dengan mendung, pemimpin acara meminta laki-laki,
istri, dan anaknya untuk bersiap. Sesaat kemudian ketiganya duduk di bangku dan
doa pun dipanjatkan. Disusul oleh guyuran air dari ember yang dituang ke atas
kain kuning. Jeritan kaget terdengar dari mulut sang anak, wajahnya panik, tak
menyangka akan disiram air di pagi yang dingin.
Entah berapa kali air dituangkan, sebelum akhirnya pemimpin ritual
memberikan wadah berisi pupur berwarna kuning. Semua harus membalurkan pupur ke
seluruh tubuh dan wajah. Air pun kembali disiramkan untuk membersihkan pupur
yang menempel.
Selesai sudah. Kini keluarga kecil itu segera berganti baju. Sementara
saya dan keluarganya masuk ke dalam rumah panggung. Terlihat piduduk atau
sajian untuk keperluan ritual tertata rapi di atas lantai.
Ada kue-kue tradisional seperti wajik, lemang, dodol, ayam panggang,
ketan beinti, dan kue-kue aneka bentuk. Tak lupa kopi dan teh serta air putih. Sementara
kami menunggu, pemimpin acara berdiri, Bersiap menabur beras kuning ke keluarga
kecil yang akan naik ke rumah.
Baru setelah itu dupa dibakar. Doa pun dipanjatkan. Setelahnya,
kopi dan teh hangat dikeluarkan. Kami diminta mencicipi piduduk yang semuanya
terbuat dari ketan. Hanya kue warna-warni saja yang tidak dapat dimakan karena
keras dan tanpa rasa. Kue itu merupakan syarat utama untuk mandi-mandi Sungai riam. Bentuknya menggambarkan berbagai peralatan rumah tangga yang digunakan oleh masyarakat, seperti cermin, dan meja,
Sambil menyeruput teh hangat, saya berbincang dengan pemimpin acara.
Darinya saya mengetahui kalau acara mandi-mandi Sungai riam hanya dilakukan
oleh mereka yang masih memiliki kaitan atau keturunan dari Pangeran Suryanata.
Tujuannya mengharapkan agar kehidupan keturunan Pangeran Suryanata
dapat berjalan dengan baik. Terhindar dari berbagai hal buruk. Tidak melupakan
akar leluhurnya.
Saya mengangguk mendengar penjelasan tersebut. Saya beruntung
dapat ikut serta dan mendokumentasikan kegiatan yang sangat jarang dilakukan
oleh masyarakat. Indonesia memang memiliki kekayaan yang sangat beragam dan
patut dilestarikan.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.