Saling Bantu dan Jaga Berkat BRImo

Deteksi Dini Kunci Perangi Kanker Paru



Tak ada yang mengira jika kanker paru merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Deteksi dini menjadi kata kunci untuk menurunkan peringkatnya.

Siang itu saya menemui seorang teman di kantornya. Ruangan bercat putih dengan lemari buku di sisi kiri dan beberapa lukisan tampak begitu sunyi. Tak ada suara lagu yang kerap diputar untuk menemaninya menyelesaikan pekerjaan.

Seketika saya paham, ada sesuatu yang akan dibicarakan. Sesuatu yang serius meski wajahnya berhiasnya senyum. Namun, matanya tampak menyimpan duka.

Benar saja, dengan terbata-bata ia memberitahu hasil pemeriksaan rutin. Dokter menemukan sebuah noda di paru-parunya. Artinya ia harus kembali menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mendapatkan jawaban.

“Baru setahun aku menjalani masa tenang. Mengapa harus mengalami hal ini?” ujarnya pilu.

Teman saya seorang penderita kanker rahim. Setelah menjalani pengobatan seperti operasi, radiasi, dan kemoterapi kankernya dinyatakan terkendali. Jika dalam kurun waktu lima tahun tak ditemukan sel kanker, ia akan menjadi seorang penyintas.

Namun siapa sangka, setahun kemudian sel kanker ditemukan telah bermutasi ke paru-paru. Menyebabkannya mengalami rasa tak nyaman saat beraktivitas.

Akhirnya dengan segala kekuatan dan tekad, ia kembali menjalani pengobatan. Termasuk melakukan operasi untuk mengambil seperempat bagian paru-parunya. Baru setelah itu menjalani radioterapi dan kemoterapi.

Kanker Paru Penyebab Kematian

Kenangan 8 tahun lalu kembali muncul ketika siang itu saya mengikuti webinar “Membuka lebar pintu harapan: Meningkatkan kesintasan pasien kanker paru melalui deteksi dini, dan tata laksana yang berkualitas”.

Kegiatan yang diadakan bertepatan dengan peringatan Hari Kanker Sedunia 2022 itu benar-benar mengaduk emosi. Betapa banyak orang yang kehilangan orang terkasih dan keluarga karena kanker paru. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk menjalani pengobatan. Berapa banyak emosi yang terkuras saat menemani dan mendampingi para pejuang kanker. Sungguh bukan perjuangan yang mudah.




 

Saya bersyukur hingga kini teman dalam keadaan sehat. Ia telah menjadi penyintas kanker rahim dan paru. Ia termasuk 13,7% pasien kanker paru yang bertahan hidup dalam 5 tahun. Ia tetap rutin dan disiplin menjalankan perawatan rutin berupa pemeriksaan tahunan.

Jika ditelisik, keberhasilannya menjadi penyintas selain disiplin menjalani pengobatan secara medis, kanker paru yang diidapnya dapat segera dideteksi sehingga masih dalam tahap awal.

Tingkat kesembuhan menjadi kecil saat pasien baru menjalani pengobatan saat keadaannya sudah buruk. Tidak ada kata lain, deteksi kunci menjadi penting untuk mengurangi angka kematian kanker paru.

Penyebab Kanker Paru

Begitu besarnya momok terhadap kanker paru sudah sepatutnya masyarakat menyadari bahwa ada hal-hal yang menyebabkan timbulnya penyakit tersebut. “Faktor risiko kanker paru ini utamanya dsebabkan oleh kebiasaan merokok dan terpapar asap rokok secara terus menerus, serta apalagi bila disertai faktor risiko lain misalnya paparan zat karsinogen di tempat kerja atau ada riwayat kanker paru dalam keluarga,” ungkap Prof. dr. Elisna Syahruddin, Ph.D., Sp.P(K)Onk, Direktur Eksekutif Research of Indonesia Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO).

Ketika statistik bicara

Dalam webinar yang diadakan oleh Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), Indonesia Association for The Study on Thoracic Oncology (IASTO) dan Roche Indonesia terungkap bahwa setiap tahun ditemukan 34.783 kasus kanker paru baru di Indonesia dan 30.843 kematian akibat kanker paru selama tahun 2020 (menurut data WHO melalui Global Cancer Observation).

Angka yang membuat saya pusing ketika membayangkan betapa banyaknya orang yang mengidap kanker paru. Apalagi sebagian besar pengidap merupakan laki-laki, jumlahnya mencapat 25.943 kasus atau sekitar 14,1% dari seluruh kasus kanker baru.

Angka ini menunjukkan bahwa kanker paru pun dapat menyerang perempuan. Hal ini sangat mungkin meski tidak semua perempuan perokok, namun tergolong dalam perokok pasif. Efek yang didapat tidak jauh berbeda dengan para perokok aktif.

Menurut dr. Evlina Suzanna, SpPA, Sekretaris Jenderal POI, usia penderita kanker paru di Indonesia semakin muda.

Efek Kanker Paru

Kembali pada kenangan beberapa tahun lalu, beberapa waktu setelah operasi, keadaan teman tak lagi bisa seperti semula. Ia harus berjuang untuk bisa meningkatkan kapasitas kerja paru-parunya. ia pun tidak bisa terlalu lelah jika tak ingin napasnya tersengal-sengal.

Namun sesungguhnya tak hanya itu efek yang ditimbulkan. Dampaknya begitu banyak. Berdasarkan penelitian dari Japanese Journal of Clinical Oncology tahun 2014 diketahui bahwa kualitas hidup penderita kanker paru lebih rendah dibanding kanker lainnya. Penyebabnya adalah tekanan mental karena besarnya biaya pengobatan.

Pemeriksaan molekuler seperti EGFR, ALK, dan PD-L1 hingga saat ini belum dapat dilakukan dengan BPJS. Artinya penderita kanker paru harus mengeluarkan biaya sendiri yang jumlahnya cukup besar. Seperti yang diungkapkan oleh Megawati Tanto, Koordinator Kanker Paru Cancer Information and Support Center, “Pasien kanker paru di Indonesia menghadapi kendala, mulai dari pelayanan diagnosis kanker paru di BPJS yang masih terbatas dan tidak mencukupi untuk pemeriksaan molekuler, sehingga pasien tidak bisa melakukan pemeriksaan yang dibutuhkan karena kendala biaya. Selain itu dari sisi pengobatan banyak kebutuhan pengobatan yang memang tidak bisa didapatkan pasien karena tidak bisa diperoleh melalui BPJS”.

Selain itu anggapan masyarakat yang mengaitkan kanker dengan kebiasaan atau hal-hal lain yang bersifat negatif juga turut menyumbang menurunkan mental penderita kanker.

Pentingnya Deteksi Dini 

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Dimana dukungan sangat dibutuhkan oleh para penderita kanker paru yang tengah berjuang agar dapat bertahan.

Teman saya dan Ibu Mega beruntung karena kanker paru dapat segera diketahui saat menjalani pemeriksaan untuk kanker rahim dan kanker kolon. Lalu bagaimana dengan penderita yang semula kondisinya sehat? atau mereka yang memiliki risiko tinggi terkena kanker paru?

Deteksi dini merupakan kata kunci agar nantinya tidak terjadi fenomena gunung es kanker paru. Tindakan ini diperlukan untuk mengetahui atau menemukan pengidap kanker paru pada stadium dini sehingga angka kehidupannya meningkat.

Gerakan deteksi dini pada kanker memang mulai dikenal masyarakat namun masih terbatas pada kanker payudara dan serviks. Kampanye sadari dan pemeriksaan IVA rutin dilakukan hingga ke pelosok daerah. Masyarakat, khususnya perempuan dapat melakukan pemeriksaan di pusat kesehatan terdekat.

Sayangnya, gerakan untuk deteksi dini kanker paru belum dilakukan secara masif. Namun bukan berarti tidak mungkin untuk digaungkan.

Sebagai pembuka, deteksi dini dengan menggunakan low-dose CT scan (LDCT) dilakukan pada masyarakat dengan faktor risiko tinggi yaitu perokok berat atau terpapar asap rokok dan mempunyai riwayat kanker paru dalam keluarga.

Dengan deteksi dini selain harapan hidup penyintas kanker paru meningkat, beban keuangan negara dapat diminimalkan.

Bergandengan Tangan

dr. Evlina menambahkan berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu bergandengan tangan untuk mendukung penatalaksanaan kanker paru yang komprehensif. “Hal ini mencakup tersedianya sumber daya manusia, kemudahan akses ke fasilitas kesehatan, ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan pembiayaan untuk pelayanan berkualitas, diharapkan mampu menjangkau semakin banyak pasien kanker paru dan meningkatkan harapan hidup penyintas kanker paru di Indonesia,” tukas dr. Evlina.

Yup, apa yang dikatakan dr. Evlina benar. Kanker bukanlah penyakit yang menimpa satu orang, namun banyak pihak yang merasakannya. Pemerintah menyadari hal tersebut dan mulai melakukan upaya untuk mengurangi beban yang timbul dari penyakit tidak menular seperti kanker.

dr, Else Mutiara Sihotang, coordinator RS Pendidikan yang mewakili Kementrian Kesehatan RI mengatakan sesuai dengan RPJMN 2019-2024 pemerintah berkomitmen untuk mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular, termasuk kanker pada tahun 2030. Rencana strategis Kementrian Kesehatan RI tahun 2019-2024 menetapkan target 100% kabupaten/kota melakukan deteksi dini penyakit kanker di ≥ 80% populasi usia 30-50 tahun pada tahun 2021, terutama untuk kanker payudara, kanker serviks, kanker paru, dan kanker kolon.

Sekarang mari kita sama-sama bergandengan tangan untuk berjuang bersama. Kanker adalah penyakit, bukan kutukan.




Komentar