pada tanggal
#sidomuncul #bulking #gym #makananbulking
Review
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Denyut pariwisata belum benar-benar kencang. Masyarakat terus berusaha membuatnya hidup dengan melakukan aktivitas jual beli. Berbagai konsep ditawarkan, salah satunya pasar tradisional yang mengusung kearifan lokal.
Aktivitas jual beli di pasar tradisional |
Sebuah upaya yang patut didukung karena aktivitas perekonomian bergerak. Uang rupiah pun bergulir seperti yang diharapkan. Walaupun wujudnya sempat berganti demi mendukung keunikan pasar, namun kecintaan, pemahaman, dan kebanggaan akan uang rupiah tidak pudar. Ini rupiah kita.
Geliat pasar tradisional yang mengusung kearifan lokal rupanya menarik perhatian warga Kampung Purun. Kawasan yang berada di Kelurahan Palam ini dikenal sebagai sentra kerajinan anyaman purun. Tanaman rawa seperti alang-alang tumbuh liar di sekitar kampung.
Aneka anyaman dari purun |
Dahulu, purun diolah menjadi tikar. Berbagai pelatihan yang digelar berhasil meningkatkan kemampuan menganyam warga sehingga produk yang dibuat semakin beragam. Ada topi, tas, wadah tempat minum, hingga kotak tisu.
Tak berhenti sampai di situ, para pengrajin dan warga berinisiatif membuat pasar tradisional dengan kearifan lokal, meniru pasar serupa di Pulau Jawa. Nantinya tidak hanya kerajinan, berbagai makanan tradisional akan dibuat dan dijual.
Untuk mengundang khalayak, dibuatlah selebaran, baik dalam bentuk digital dan cetak. Kertas-kertas berisi informasi tersebut disebar di pasar-pasar.
Beruntung saya mendapatkan selebaran tersebut saat berbelanja di pasar dekat rumah. Selebaran itu saya tunjukkan pada si kecil. Matanya terlihat bersinar menandakan rasa ingin tahunya yang besar.
Dijelajahinya kertas berukuran 20x25 cm dengan teliti. Matanya menatap tajam pada sebuah foto. Terlihat ada tiga bulatan berwarna hijau, merah, dan kuning.
Pertanyaan pun terlontar dari mulutnya, untuk apa bulatan-bulatan itu dibuat? Saya sengaja tak menjawab. Kami sepakat mencari jawabannya langsung di pasar Purun.
Menjelang siang, kami sampai di pasar Purun. Kampung ini berada paling ujung Kelurahan Palam, berbatasan dengan bekas area penambangan intan.
Meski cuaca cukup terik, saya dan pengunjung tidak merasa kepanasan. Pohon-pohon besar menjadi payung alami. Udara segar yang berembus dari area sawah di tepi pasar membuat udara terasa sejuk.
Purun warna-warni
Sebelum masuk ke pasar, saya mengajak si kecil menuju tenda kecil dekat pintu masuk untuk menukar uang. Selembar uang Rp100.000 berganti menjadi 5 buah bulatan purun berwarna merah yang diberi nilai Rp10.000, 6 buah bulatan berwarna hijau dengan nilai Rp5000, dan 10 buah bulatan berwarna kuning dengan nilai Rp2000.
Koin purun |
Si kecil tampak kebingungan melihat “uang” yang berbeda dari biasanya. Ini bukan uang rupiah yang biasa dipakainya berbelanja.
Tentu saja ini bukan mata uang sesungguhnya. Bulatan berwarna-warni ini hanya alat tukar sementara bagi pembeli dan penjual saat melakukan transaksi. Pengelola kegiatan sengaja membuat alat tukar khusus dengan tujuan mendekatkan purun dengan pengunjung.
Masih diliputi rasa heran, kami mulai berkeliling di pasar Purun yang terbagi menjadi 3 area. Area pertama menampilkan aneka kerajinan dari purun. Ada beragam tas, topi, dan tempat tisu.
Di sebelah area kerajinan merupakan area kedua yang berada di rumah kayu. Pada bagian depan terdapat meja panjang. Di atasnya tersusun aneka makanan tradisional seperti kacicak, patah, laksa, dan apam.
Kue tradisional banjar |
Tepat di seberangnya terletak area ketiga yang berada di bawah pepohonan. Terlihat para penjual menawarkan aneka barang. Ada pupuk, kerupuk, minuman dingin, sampai pentol. Si kecil memutuskan menggunakan “uangnya” untuk membeli minuman. Sementara saya langsung jatuh hati pada pupuk tanaman.
Agar si kecil mendapatkan pengalaman belajar mengenai alat tukar, saya sengaja tidak terburu-buru meninggalkan pasar. Sambil melihat pengunjung berbelanja, saya berbincang dengan seorang penjual pentol. Dagangannya cukup laris dan jumlahnya tinggal sedikit.
Saya meminta ijin untuk melihat proses penukaran koin purun dengan uang rupiah. Syukurlah bapak penjual pentol mau dengan syarat harus menunggu hingga dagangannya habis.
10 menit berselang, pentol ludes tak tersisa. Setelah merapikan meja, bapak penjual pentol mengajak kami menukar “uang” purun dengan uang rupiah.
Koin warna-warni yang terbungkus plastik diserahkan ke panitia. Setelah panitia menghitung jumlah koin purun, mereka lalu memberikan sejumlah uang rupiah ke penjual. Inilah uang rupiah kita yang sesungguhnya.
Cinta rupiah
Dengan melihat langsung proses pertukaran koin purun ke mata uang rupiah saya percaya si kecil mendapat banyak informasi dan pelajaran.
Uang yang pernah beredar di Indonesia |
Pembelajaran ini penting karena memudahkan anak untuk mengetahui bentuk mata uang yang berlaku di negara kita tercinta. Yaitu uang logam untuk pecahan kecil, Rp 50, Rp100, Rp500, dan Rp1.000, dan uang kertas untuk pecahan lebih besar dari Rp1.000 hingga Rp100.000.
Karena uang logam menggunakan bahan dan warna yang sama, cara paling mudah untuk mengenalinya adalah dengan melihat cetakan nominal berukuran besar yang berada di salah satu sisi mata uang. Jangan lupakan hiasan di sisi lain yang tentu saja berbeda untuk tiap nilainya.
Bagaimana dengan mata uang dalam bentuk kertas? Cara mengetahui nilainya bisa dengan:
Dilihat
Dengan mengetahui tanda-tanda khusus pada mata uang setidaknya saya mengajarkan anak cara membedakan uang asli dan uang palsu.
Meski secara bentuk berbeda, seluruh uang harus disimpan dengan baik. Terutama uang dalam bentuk kertas sebab tidak boleh diremas, dilipat apalagi disobek. Jadi simpan uang kertas dalam dompet dalam keadaan lurus.
Ini Rupiahku
Nah, kegiatan melihat pasar tradisional ini benar-benar ampuh untuk mengajarkan sekaligus menanamkan rasa bangga pada rupiah. Saya sengaja membiarkan si kecil menyimpan beberapa koin purun.
Ketika ke warung, dia mencoba menukar koin purun dengan jajanan kesukaannya. Ternyata alat tukar miliknya tak berlaku. Tentu saja sebab alat tukar ini tidak memiliki nilai.
Si kecil akhirnya menggunakan uang rupiah miliknya seraya berkata tidak mau menggunakan uang purunnya. Tenang nak, uang purunnya masih bisa digunakan untuk bermain pasar-pasaran bersama teman-teman.
Apa yang dialami si kecil secara tidak langsung mengajarkan kita untuk bangga terhadap mata uang Negara Republik Indonesia. Berikut alasannya:
Jangan abaikan soal memahami mata uang Negara Republik Indonesia lho. Paham itu berarti lebih dari mengetahui material dan nilai uang, tetapi juga tahu cara bertransaksi, berbelanja, dan berhemat.
Meski memiliki banyak uang seperti lagu milik Oppie Andaresta, bukan berarti bebas menghambur-hamburkan uang. Memang tidak ada larangan dalam membelanjakan uang pribadi, namun akan lebih bijaksana jika uang tersebut digunakan untuk berbelanja sesuai kebutuhan dan utamakan produk dalam negeri ya.
Selain membantu menggerakkan perekonomian masyarakat juga mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.