Mencicipi Nasi Menjangan di Dermaga Tiwingan Banjar

Dermaga Tiwingan berada di bendungan Riam Kanan. Di sini kapal pengangkut orang dan barang berlabuh. Siap mengantar hingga ke seberang.


Siang itu, kala durian melimpah ruah, saya dan keluarga sepakat untuk melakukan perjalanan demi mencari buah durian. Meski tak menyukai durian, saya sama sekali tidak keberatan pergi menyertai suami dan anak-anak ke kawasan Aranio, kabupaten Banjar.


Bisa tebak dong kalau saya punya niat tersembunyi. Saya ingin sekali main ke Bendungan Riam Kanan. Sudah lama banget nggak ke sana. Dulu pertama kali ke sana hari sudah sore jadi nggak banyak yang bisa dilihat. Suami sih sering ke sana untuk mancing.


Nah, letak penjaja durian kampung yang enak ini memang tidak jauh dari bendungan Riam Kanan. Dan, sebelum berangkat, saya sudah mengajukan usul untuk mampir ke bendungan. Semua setuju. Semua senang.


Maka siang itu, kami bersama-sama menuju Bendungan seluas 8000 Ha yang jaraknya sekitar 30 km dari rumah. Jarak sejauh itu ditempuh selama 45 menit saja.


Kami sama sekali tidak mengaktifkan peta atau petunjuk arah karena sudah hafal. Jalannya pun tidak memiliki banyak cabang. Pokoknya jalan saja lurus ke depan. No belok-belok.


Dari rumah, jalan yang kami lalui terbilang mulus dan lancar. Jalan mulai berkelok saat memasuki kawasan Padang Panjang.


Walau tidak seperti jalanan di kawasan puncak, cukuplah mengobati rindu akan liukan jalan menuju perkebunan teh. Hehehe agak lebay ya.


Sepanjang jalan, saya asyik melihat deretan rumah penduduk yang diselingi pepohonan. Entah karena gembira atau kehadiran pepohonan sepertinya ampuh mengubah cuaca panas menjadi tak terasa.


jalan menuju dermaga tiwingan
Jalan Menuju Riam Kanan (foto pribadi)


Deretan rumah penduduk menghilang saat melewati pintu gerbang Taman Hutan Raya Sultan Adam. Kini di depan mata terhampar perbukitan, masyarakat menyebutnya gunung. 


Sebuah bukit yang minim pepohonan mendominasi peman

dangan di kanan jalan. Terlihat jelas jalan setapak yang sudah tidak digunakan membelah padang rumput. Dulu, bukit ini kerap didaki. Tapi sekarang tidak lagi setelah pihak pengelola Tahura Sultan Adam resmi melarang kegiatan pendakian. Beberapa pokok pohon penghijauan tampak menyembul dari sela rerumputan. 


Semakin mendekati Bendungan yang dibangun tahun 1958 ini, pepohonan semakin rapat. Jalan Ir. Pangeran Mochamad Noor pun semakin berliku. Jalan berakhir tepat di ujung sebuah dermaga.


  • Dermaga Tiwingan


Biar pun di sebut dermaga, jangan membayangkan sebuah banguna besar dengan pagar pembatas yang terbuat dari beton. Di depan mata hanya terhampar jalan menurun yang berbatu. Tak ada jalan beton apalagi jalan yang menjorok ke waduk.


Perahu di dermaga tiwingan
Deretan perahu di dermaga tiwingan (foto pribadi)


Tepat di bibir air, perahu berjajar berderet. Armada ini siap mengantar penduduk atau wisatawan yang ingin menikmati kawasan bendungan. 


Wisatawan juga bisa mendatangi beberapa pulau yang terletak di seberang atau tengah bendungan. Ada Pulau Pinus, Pulau Sirang, Bukit Batas, Sei Luar Villa, dan Gunung Batu.


kantor dermaga tiwingan
Kantor Dermaga Tiwingan (foto pribadi)


Untuk menuju ke sana, sebaiknya bersama teman-teman agar biaya sewa perahu bisa lebih murah.


Karena saya datang saat musim kemarau, air bendungan tengah surut cukup jauh. Otomatis kawasan dermaga bertambah panjang dan bisa dijadikan lahan parkir tambahan.


Perahu di dermaga tiwingan
Deretan Perahu di Dermaga Tiwingan (foto pribadi)



tarif sewa perahu di dermaga tiwingan
Tarif Sewa Perahu di Dermaga Tiwingan (foto pribadi)


Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Kapan lagi bisa menyusuri tepi dermaga sampai ke sisi lainnya. Hingga ke tempat perbaikan perahu.



  • Nasi menjangan


Di tempat perbaikan perahu, saya mendapati sebuah tiang besar dan tinggi. Di bawahnya ada mesin untuk menempatkan tali yang satu sisinya dikaitkan ke perahu dan sisi lainnya terikat ke mesin.

Sementara di sisi kiri dan kanan terdapat warung yang menjajakan makanan. Langkah saya berhenti tepat di salah satu warung.


Baca juga : melihat upacara 7 bulanan di banjarbaru


Tumpukan nasi berbungkus kertas coklat langsung menarik perhatian saya. Secarik kertas kecil yang tertempel menunjukkan menu nasi yang dijual. Nasi menjangan.


Hm, rasanya seperti apa ya? Dimasak dengan bumbu apa? Dan masih banyak pertanyaan lain menyeruak di benak.


Nasi Menjangan (foto koleksi pribadi)
nasi menjangan di dermaga tiwingan
Nasi Bungkus Menjangan (foto pribadi)

Tak mau membawa pertanyaan hingga ke rumah, saya langsung membeli nasi menjangan yang hanya tinggal empat bungkus. Satu bungkus nasi dihargai Rp10.000. Oh ya, tidak semua warung menjual menu ini. Hanya ada dua warung, satu di atas dekat tempat parkir dan lainnya ya yang saya datangi.


Begitu bungkusan dibuka, saya mendapati nasi putih dengan sepotong kecil daging menjangan berwarna coklat. Katanya sih ada nasi kuning juga. Mungkin ada di bungkusan lainnya.


nasi menjangan dermaga tiwingan
Nasi Putih Menjangan (foto pribadi)


Daging menjangannya dimasak mirip semur tapi kering seperti ayam masak habang khas Banjar. Rasanya sudah pasti manis.


Mau tahu rasa daging menjangan? Ternyata lebih lembut dibanding daging sapi. Seratnya halus. Nggak terasa, sebungkus nasi tandas tak tersisa. Sebungkus lain dinikmati si kecil. Sisanya untuk di makan di rumah.


Baca juga : Madu kelulut, si manis dari hutan


Wow, rasanya senang banget bisa mencicipi masakan yang beda dari biasanya. Inilah yang saya suka dari jalan-jalan, selain melihat pemandangan bisa mencicipi masakan khas daerah.


Kalau teman-teman penasaran dengan nasi menjangan, langsung saja meluncur ke Dermaga Tiwingan.













Komentar

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.