- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Perjalanan
wisata tidak melulu berkisah tentang masa kini. Masa lalu juga punya cerita
menarik untuk disimak. Ragam kisah yang tersimpan dalam cagar budaya siap
melenakan penikmatnya. Kapsul menuju masa lalu itu akan tetap ada berkat
kepedulian berbagai pihak. Mereka akan tetap menjaga dan merawat harta bangsa
Indonesia. Mereka adalah kita.
Sebagai seorang Ibu, saya senang melakukan
perjalanan. Tidak perlu pergi ke tempat yang jauh, mengunjungi daerah wisata di
dekat rumah mampu menuntaskan hasrat bepergian saya.
Menikmati keramaian di Pasar Lokba Intan (dokumentasi pribadi) |
Acara pergi-pergi kerap dilakukan tanpa rencana. Mengandalkan
peta digital dan rasa penasaran saja. Dari sekian banyak tempat yang didatangi,
ternyata peringkat teratas diraih oleh kawasan cagar budaya. Museum memang
menjadi tempat favorit saya dan anak-anak dalam mengisi waktu libur.
Dengan gembira kami menjelajahi setiap ruang,
memandangi koleksi yang tersimpan, dan menyimpan pelajaran dalam hati. Kebiasaan
ini tidak hilang walau tidak lagi tinggal di Ibukota Jakarta.
Prasasti di Museum Nasional Jakarta (dokumentasi pribadi) |
Selama bermukim di Borneo, saya tetap berusaha memperbarui informasi dengan melihat dan membaca berita.
Toh, kemajuan teknologi membuat semua mudah. Dari media inilah saya bisa
mengetahui apa dan dimana saja cagar budaya yang akan dikunjugi.
Indeks Pembangunan Kebudayaan
Lewat berita pula saya tahu jika pemerintah daerah Provinsi
Kalimantan Selatan tengah mengenjot sektor pariwisata. Diharapkan sektor ini
mampu menggantikan sektor pertambangan sebagai penyumbang pendapatan daerah. Wow,
pantas saja pemerintah daerah kerap menggelar acara budaya dan memperbaiki
kawasan wisata yang sudah ada.
!3 Provinsi dengan nilai di atas Indeks Pembangunan Kebudayaan |
Beberapa hari lalu tersiar kabar gembira, Kalimantan
Selatan masuk jajaran 13 Provinsi dengan Indeks Pembangunan Kebudayaan di atas
53,74. Indeks Pembangunan Kebudayaan diluncurkan untuk melihat capaian pemajuan
kebudayaan di Indonesia di semua provinsi. Pengukuran capaian dilakukan oleh
Kementrian Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Badan Pusat Statistik.
7 Dimensi Untuk Mengukur Indeks Pembangunan Kebudayaan |
Ada 31 indikator penilaian yang dirangkum menjadi 7
dimensi pengukuran, diantaranya: Ekonomi Budaya, Pendidikan, Ketahanan Sosial
Budaya, Warisan Budaya, Ekspresi Budaya, Budaya Literasi, dan Gender.
Warisan budaya langsung saya lingkari besar-besar.
Pas benar dengan kesukaan saya dan anak-anak. Berarti daftar untuk melihat dan
menikmati acara budaya dan cagar budaya akan bertambah.
Baiklah, untuk mewujudkan kegembiraan, kami memutuskan
untuk mengunjungi kawasan Masjid Sultan Suriansyah yang berada di Kota
Banjarmasin. Bangunan bersejarah ini sudah terdaftar sebagai cagar budaya
dengan nomor RNC 2008052302000915.
Mengenal Cagar Budaya
Sebelum meneruskan perjalanan, ada baiknya saya
menerangkan tentang cagar budaya. Menurut UU Republik Indonesia No. 11 tahun
2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar
budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan
kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Papan Tanda Cagar Budaya Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi (dokumentasi pribadi) |
Tidak semua bangunan atau kawasan dapat menjadi
cagar budaya. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sesuai ketetapan dalam
UU No. 11 tahun 2010 pasal 5, yaitu:
1. Berusia
50 tahun atau lebih;
2. Mewakili
masa gaya paling singkat berusia 50 tahun;
3. Memiliki
arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan agama, dan/atau
kebudayaan; dan
4. Memiliki
nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Proses pengajuan sebuah objek tidak harus
dilakukan oleh pemerintah, saya atau masyarakat bisa. Cukup dengan mendaftarkan
objek ke Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya. Selanjutnya tim akan meneliti objek tersebut.
Objek akan dinyatakan sebagai cagar budaya setelah semua kriteria terpenuhi.
Masjid Sultan Suriansyah
Baiklah, mari menjelajah ke Masjid Sultan Suriansyah
di kawasan Kuin Utara, Kota Banjarmasin. Setelah 1 jam berkendara, akhirnya
saya dan anak-anak sampai di pelataran masjid bercat hijau.
Masjid Sultan Suriansyah (dokumentasi pribadi) |
Siang itu halaman Masjid Sultan Suriansyah terlihat
sepi. Hanya ada dua orang anak duduk ditangga masjid. Keduanya asyik berbincang
dengan nada pelan. Seperti takut mengusik ketenangan.
Sebagai tamu, sudah tentu saya harus mengetuk pintu.
Bergegas saya datangi kantor pengelola masjid untuk meminta ijin. Berbekal
persetujuan pengurus, saya memulai penjelajahan.
Papan Penanda Situs Cagar Budaya Masjid Sultan Suriansyah (dokumentasi pribadi) |
Bangunan yang berada di tepi sungai Kuin ini terbuat
dari kayu ulin. Kondisinya masih terawat dan berfungsi penuh sebagai tempat ibadah.
Andaikan tidak ada papan bertuliskan “Kawasan Situs Purbakala”, bukan tidak mungkin
saya lupa jikalau ini adalah bangunan bersejarah.
Sejarah Masjid Sultan Suriansyah
Ketika berdiri di halamannya yang luas, saya seakan tengah
memandang masjid yang berada di Jawa Tengah. Berbentuk bujur sangkar dengan
jajaran tiang sebagai penyangga atap berbentuk tumpang.
Ternyata bentuk masjid Sultan Suriansyah memang
mengadopsi masjid yang ada di Demak. Hal ini berkaitan dengan sejarah
berdirinya Kota Banjarmasin.
Bangunan Panggung dan Atap Tumpang (dokumentasi pribadi) |
Kisah bermula dengan kembalinya Pangeran Samudera
bersama Khatib Dayyan dari Demak ke tanah Borneo. Pangeran Samudera ingin
merebut kembali tahta yang dikuasai Pangeran Tumenggung, pamannya.
Keduanya bersitegang hingga sepakat untuk berperang.
Beruntung, pertikaian tidak terjadi. Dengan sukarela Pangeran Tumenggung
mengakui kedaulatan Kerajaan Banjar yang diperintah oleh Pangeran Samudera.
Setelah memeluk agama Islam, Pangeran Samudera yang berganti nama menjadi Sultan Suriansyah membangun sebuah masjid untuk beribadah. Letaknya tidak jauh dari Istana Kerajaan Banjar. Modelnya
menyerupai masjid di Demak, tetapi menyesuaikan dengan kondisi alam dan adat
istiadat masyarakat setempat.
Gaya Tradisional Banjar
Gaya tradisional Banjar pada masjid terlihat jelas dari
kontruksi bangunan yang berbentuk panggung dan beratap tumpang. Semakin ke
atas, bentuk atap semakin mengecil. Sebuah pataka diletakkan di atas atap
membuatnya terlihat semakin menjulang tinggi. Sementara di tiap ujung pertemuan
atap terdapat jamang atau ukiran kayu.
Bagian Dalam Masjid Sultan Suriansyah Dengan Soko Guru Di Tengah Bangunan (dokumentasi pribadi) |
Memasuki bagian dalam masjid yang dibangun tahun
1526-1550, saya semakin dibuat kagum. Arsitektur tradisional Banjar semakin
terlihat terutama pada bagian mihrab, meski menyatu dengan bangunan utama namun
atapnya terpisah. Di sini diletakkan mimbar besar untuk ulama menyampaikan
ceramah.
Mimbar tersebut dihiasi ukiran dengan motif tumbuhan
seperti buah nanas, bunga, sulur, dan manggis. Ukiran juga menghiasi
tiang-tiang utama, pintu, jendela, pagar, dan dinding masjid. Membuat bagian
dalam masjid terlihat sangat indah.
Mimbar Yang Masih Terawat Berada di Bagian Mihrab (dokumentasi pribadi) |
Penempatan kaca di dekat atap serta jendela membuat
cahaya matahari leluasa masuk ke dalam masjid. Suasananya sungguh tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Rasanya damai sekali.
Memugar Agar Tetap Bertahan
Mengingat usia yang telah mencapai ratusan tahun,
sudah tentu masjid memerlukan perbaikan. Pemugaran telah dilakukan dua kali.
Pemugaran pertama dilakukan tahun 1976 oleh Kodam X Lambung Mangkurat dengan
memperbaiki bagian masjid yang rusak.
23 tahun kemudian, tepatnya tahun 1999, Gubernur
Kalimantan Selatan, H. GT. Hasan Aman melakukan pemugaran secara besar-besaran,
terutama pada bagian dinding.
Bagian Luar Masjid Sultan Suriansyah (dokumentasi pribadi) |
Meski telah dipugar, struktur masjid berukuran 15,5x15,7
meter dengan tinggi 10 meter ini tetap dipertahan seperti dulu. Pemugaran
dilakukan untuk mengganti kayu yang rusak karena termakan usia. Meski demikian,
jenis kayu yang dipakai tidak berubah, tetap memakai kayu ulin yang tahan
terhadap air dan serangga.
Walaupun telah mengalami pemugaran, saya masih bisa
melihat beberapa benda asli yang sudah ada sejak dahulu kala, yaitu mimbar,
tiang soko guru, bedug, dan pintu atau lawang agung.
Pada daun pintu sebelah kanan lawang agung, saya mendapati inskripsi
Arab-Melayu berbunyi “B’da hijratun Nabi Shahahhahu’alahihi wassalam sunnah
1159 pada tahun Wawu ngaran Sultan Tamijidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar
dalam tanah tinggalan Yang mulia”.
Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri
terdapat inskripsi berbunyi, “ Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang
Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari isnain pada sapuluh hari
bulan Sya’ban tatkala itu (tidak terbaca).”
Sementara pada lengkungan mimbar terdapat kaligrafi
berbunyi “Allah Muhammadarasulullah”. Di sebelah kanan atas terdapat tulisan
“Krono Legi: Hijriah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17.” Sedangkan pada
bagian kiri terdapat tulisan “Allah subhanu wal hamdi al-haj Muhammad Ali
al-Najri.” Ini berarti pembuatan mimbar dilakukan pada hari selasa legi tanggal
17 rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.
Kekaguman saya tidak berhenti sampai disitu. Ketika
berjalan meninggalkan bangunan utama, saya mendapati hiasan pada lantai. Bukan
ukiran, melainkan cara menyusun kayu untuk lantai yang sangat tidak biasa.
Kayu tidak dijajarkan begitu saja dalam susunan
berderet, namun dibentuk menyerupai bujur sangkar. Pembuatannya tentu tidak
mudah dan benar-benar dibuat dengan ketelitian.
Jaga dan rawat Cagar Budaya
Keberadaan Masjid Sultan Suriansyah yang terawat
membuktikan peran masyarakat dalam menjaga kekayaan bangsa. Meski tidak mudah,
upaya pelestarian harus terus dilakukan.
Kewajiban untuk menjaga dan merawat cagar budaya
tertuang dalam UU RI nomor 11 tahun 2010. Cagar budaya harus dilestarikan
karena mempunyai nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan agama, dan
kebudayaan.
Bagian Utama Masjid Sultan Suriansyah (dokumentasi pribadi) |
Selain itu cagar budaya bersifat rapuh, unik, langka,
terbatas, dan tidak dapat diperbarui. Warisan ini memiliki nilai dan sejarah
yang penting untuk pendidikan. Patut diingat, cagar budaya merupakan identitas
bangsa.
Tanggung jawab besar untuk menjaga dan melestarikan
cagar budaya berada dipundak semua orang. Tidak hanya Pemerintah Daerah,
sejarawan, dan praktisi saja, tetapi juga masyarakat umum.
Saya juga berkewajiban melestarikan cagar budaya
dengan cara:
1. Menjaga
kebersihan kawasan cagar budaya.
2. Tidak
memegang koleksi atau benda tinggalan.
3. Tidak
meninggalkan jejak apapun kecuali foto.
4. Mengunjungi
cagar budaya untuk meningkatkan rasa cinta tanah air.
5. Mempublikasikan
informasi tentang cagar budaya agar semakin banyak orang yang tahu dan peduli
pada cagar budaya.
Apa yang saya lakukan mungkin sederhana, tetapi saya
yakin cerita ini akan memberi dampak positif pada pembaca.
Teman-teman juga bisa membantu melestarikan cagar
budaya dengan mengikuti kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia, Rawat atau
Musnah!”
Referensi:
Usman, A. Gazali. 2000. Tradisi Ba’ayun Maulud 12
rabiul Awal di Mesjid Keramat Banua Halat Rantau-Kabupaten Tapin. Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tapin.
Wajidi. 2011. Akulturasi Budaya Banjar di Banua
Halat. Pustaka Book Publisher. Yogyakarta.
Komentar
Aku juga selalu suka pergi ke tempat2 bersejarah.
BalasHapusTermasuk kr cagar budaya.
Kebetulan di surabaya juga banyak bangunan cagar budaya
Senang ya mbak Dee kalau main ke tempat bersejarah. selain bisa melihat keindahannya juga bisa mendengar kisahnya. Mudah-mudahan saya bisa main ke surabaya dan melihat cagar budaya di sana
HapusSaya selalu takjub melihat atau membaca tulisan tentang benda-benda cagar budaya. Ketika mendatangi tempat cagar budaya pikiran saya terlempar ratusan tahun silam membayangkan bagaimana orang2 dulu membuat bangunan tersebut hingga bisa kita nikmati sampai sekarang.
BalasHapusMembaca artikel mba terkait masjid bersejarah Sultan Suriansyah ini rasanya ingin pergi ke sana menyaksikannya langsung dan salat di dalamnya. Semoga saya bisa ke sana ya Mba.
saya juga senang mbak membaca tulisan mengenai cagar budaya atau bangunan kuno lainnya. soalnya ceritanya pasti seru dan gimana gitu. mudah-mudahan nanti mbak bisa mampir ke banjarmasin dan bisa melihat keindahan masjid ini. amin.
HapusMasih banyak ya cagar budaya yang terawat dan dijaga, semoga cagar budaya lestari sampe generasi-generasi mendatang. Gutlak :)
BalasHapussebenarnya ada cagar budaya yang nasibnya kurang baik mbak, hanya ketika ditelusuri ternyata belum masuk dalam daftar cagar budaya, mungkin masih dalam tahap pendaftaran. semoga bisa segera ditetapkan dan dilestarikan keberadaannya.
HapusWah, masjidnya indah. Iya, saya juga mendukung pariwisata budaya sebagai pendukung ekonomi daerah, kak. Soalnya wisata budaya adalah bisnis yang eco-friendly dan sustainable, juga cocok dengan budaya masa kini yang mengutamakan pengeluaran untuk experience. Saya juga hobinya jalan-jalan ke bangunan bersejarah sambil baca-baca tentang sejarahnya.
BalasHapusiya mbak, masjidnya cakep. dari luar saja sudah kelihatan keindahannya, apalagi pas masuk ke dalam. aduh, nyaman banget. bikin lupa pulang.
HapusPenting banget menjaga cagar budaya di tiap-tiap daerah. Akan menjadi ciri khas dan berpotensi menjadi obyek wisata juga kan ya...Btw...aku belum pernah ke Banjarmasin nih...
BalasHapusmbak hani, ayo main ke banjarmasin. biar bisa melihat dan masuk ke dalam masjid ini. ditunggu ya mbak.
HapusSetuju, dengan berkunjung ke cagar budaya bisa menambah rasa cinta tanah air. Makasih ya mbk sdh diajak jalan2 ke nbrpa cagar budaya. Semoga cagar budaya yg dimiliki negeri ini terawat terjaga sampai generasi ke generasi. Aamiin
BalasHapusamin. semoga cagar budaya tetap lestari dan bisa dijadikan pelajaran oleh anak-anak.
Hapusaku suka sbnrnya datang ke tempat2 bersejarah. tapi jujurnya lbh suka yg berbau museum daripada candi ato kayak bangunan2 seperti di atas. dan lbh seneng yg punya latar sejarah kelam :D. jd aura seramnya juga dapet berasa. cthnya kayak museum2 lubang buaya, museum jend nasution, museum ahmad yani, itu aku seneng banget visit kesana dan mengingat lg sejarahnya.
BalasHapustapi bukan berarti anti ama tempat cagar budaya yg lain seperti candi. itu sih, aku dtgin juga, tp sbnrnya lbh seneng kalo ada penjelasan dr guide, so bisa lbh paham sejarahnya kayak apa. kalo cuma sekedar baca dr informasi yg ditempel, msh kurang informatif sih. dan ga semua tempat budaya begini ada guidenya. Aku selalu berharap tempat2 sejarah di Indonesia ttp terjaga, dan turis yg datang ga semena2 mencoret, merusak barang2nya :(. kesel kalo udah melihat orang2 ga tau tata krama naik ke atas candi hanya demi foto. ato mencoret2 di bagian candi ato dinding.. :(
wow, mbak hebat. saya agak berpikir kalau ke tempat yang agak seram, lebih kuatir ke anak-anak sih. kalau jalan sendiri mah okeh aja. saya malah belum ke museum jend nasution dan ahmad yani. huhuhu.
HapusTernyata, penentuan apakah situs tertentu merupakan cagar budaya atau bukan sudah ada peraturannya ya. Jadi, nggak sekadar mengakui sesuatu sebagai cagar budaya. Tapi, benar-benar harus dicek kembali ya keabsahan situs tertentu.
BalasHapus