Sudah lama saya penasaran ingin melihat rumah bubungan
tinggi, rumah tradisional Banjar di Telok Selong. Kabarnya rumah ini termasuk
cagar budaya yang dilindungi. Letaknya tidak terlalu jauh dari Pasar Martapura
yang biasa saya datangi. Cek di google map ternyata jaraknya hanya 14 km saja.
Ya, ampun dekat banget. Naik motor cuma 30 menit sudah sampai.
 |
rumah bubungan tinggi telok selong martapura |
Lalu kenapa sampai sekarang belum berani juga pergi ke sana?
Huff..huff..kumpulkan keberanian. Cari waktu yang tepat, maksudnya pas nggak
hujan. Akhirnya tiba juga kesempatan untuk jalan-jalan ke sana. Tepat di hari
minggu yang tidak cerah dan tidak juga hujan, saya memulai perjalanan. Dengan
mengandalkan google map sebagai petunjuk karena sama sekali belum pernah ke
daerah Telok Selong.
Dari rumah sampai Martapura motor bisa dipacu dengan
kecepatan 50 km perjam. Tetapi begitu memasuki jalan Jamrud, kecepatan
diturunkan. Selain karena melewati pasar, saya juga tidak mengenal kondisi
jalan dengan baik. Nggak lucukan lagi asyik-asyik melaju gitu eh ketemu lubang.
Jadi mending pelan-pelan saja, sambil melihat pemandangan.
 |
peta menuju rumah bubungan tinggi |
Sempat berhenti untuk bertanya pada sebuah warung, sekadar
memastikan kalau rute yang ditempuh sudah benar. Akhirnya bangunan besar itu
terlihat dari tepi jalan raya. Bangunan terbuat dari kayu itu terlihat
menjulang di antara hamparan rawa dan rumah penduduk. Yes, saya sudah mau
sampai.
Cagar Budaya
Meski sudah terlihat didepan mata, ternyata perjalanan belum
bisa dikatakan selesai. Semula saya berhenti ditepi jalan, tepat di depan
jembatan beton dan plang nama rumah bubungan tinggi ini. Sebenarnya kendaraan
bisa saja diparkir di tepi jalan dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan
kaki menyusuri jembatan, namun warga sekitar menganjurkan untuk mengikuti jalan
raya agar saya bisa memarkir kendaraan di halaman rumah tersebut.
 |
Papan cagar budaya rumah bubungan tinggi |
 |
Keterangan tentang cagar budaya |
Sesuai saran warga, saya melanjutkan perjalanan hingga
bertemu jalan bercabang. Motor saya belokkan ke kanan menuju sungai Martapura.
Agak ragu apakah jalannya sudah benar karena jalan terlihat tergerus dan patah.
Sebuah papan nama jalan yang hampir tenggelam meyakinkan saya kalau jalannya
betul. Beberapa meter di depan saya, tampaklah sebuah halaman luas dan papan
petunjuk bangunan cagar budaya, kali ini ditujukan pada rumah adat lain yang
ada di tempat yang sama.
Rupanya tepat di depan rumah bubungan tinggi ada rumah gajah
baliku. Kedua rumah terbuat dari kayu ulin dan berusia cukup tua. Sebagai salah satu cagar budaya yang ada di Kalimantan Selatan (cagar budaya lainnya adalah
Masjid Al-Mukarammah di Rantau-Tapin) kini dilindungi oleh undang-undang cagar budaya. Cagar budaya
sendiri menurut laman Kemdikbud adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa
benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situr cagar
budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Untuk mengetahui keberadaan cagar budaya lainnya, bisa melihat di cagar budaya
kemdikbud.
Rumah Keluarga Saudagar
Dari luar saya sudah terkagum-kagum pada rumah bubungan
tinggi. Begitu megah dan kokoh berdiri di tengah modernitas. Tanpa membuang
waktu saya segera menuju rumah itu. Panas yang mendera sejak tadi seperti
hilang saat kaki menjejak teras rumah. Kayu-kayu ulin berwarna hitam terasa
nyaman dikaki. Meredam semua lelah dan kekuatiran yang mendera.
 |
pintu depan rumah bubungan tinggi berhias ukiran |
 |
detail ukiran pada pintu depan rumah bubungan tinggi |
Pintu rumah terbuka, tetapi tidak ada orang di luar. Saya tidak
berani masuk. Hanya melonggok ke dalam dan melihat apakah ada orang atau tidak.
Rupanya kehadiran saya diketahui oleh pemilik rumah. Beliau menyilakan saya
untuk masuk. Setelah mengucap salam dan meminta ijin, saya mulai menjelajahi rumah bubungan tinggi dengan
ditemani Ibu Fauziah. Beliau merupakan keturunan keenam dari pasangan H. arif
dan Hj. Fatimah yang membangun rumah tersebut pada tahun 1811. Rumah dengan
panjang 33 meter dan lebar 13,6 meter seluruhnya dibuat dari kayu ulin, kayu
khas Kalimantan.
Tidak banyak ornamen yang menghiasi bagian dalam rumah. Ukiran
atau ragam hias tampak pada gebyok atau pembatas antara ruang tamu dengan ruang
dalam atau ruang tidur. Ukiran yang ditorehkan dicat warna hijau dan emas
dengan latar warna putih. Namun demikian saya masih bisa melihat pengaruh agama
islam yang ditorehkan pada bagian pembatas tuangan ini. Ornamen kaligrafi Arab
tampak menyela diantara ukiran berbentuk sulur-suluran, dedauan, dan buah
nanas.
Di ruang tamu ini saya mendapati sebuah meja marmer
berbentuk bundar serta lampu gantung kuno. Di atas meja terdapat sebuah buku
tamu yang dapat diisi oleh pengunjung. Saya jadi teringat kenangan akan lampu
gantung serupa milik kakek. Sebelum hanyut dalam kenangan, cepat-cepat saya
alihkan pandangan pada sebuah pigura berisi keterangan silsilah keluarga yang
ditempelkan dibawah ambang jendela.
 |
ukiran dekar tempat tidur besar |
Tepat di ujung ruang tamu, terdapat etalase kaca berisi
beragam kerajinan tangan. Sudut ini memang sengaja difungsikan sebagai tempat
menjual oleh-oleh khas Kalimantan. Lalu ada sebuah kotak kaca berisi
lembaran-lembaran uang yang diberikan oleh para pengunjung.
Sebenarnya ada dua buah kursi disudut ruang tamu, namun
tampaknya jarang digunakan. Pengunjung memilih duduk dilantai sambil menikmati
arsitektur rumah bubungan tinggi dengan santai. Angin yang masuk dari jendela
membuat udara terasa sejuk. Coba saja berbaring, jangan kaget kalau tiba-tiba
mata sudah terpejam karena kantuk yang tiba-tiba datang.
Ukurannya yang tidak biasa dan pernak-pernik yang
menghiasinya seperti menarik saya untuk mendekat. Di atas kasur atau tilam
ditata bantal dan guling. Pada bagian atasnya terdapat kelambu yang dihias
dengan cantik. Lalu ada ukiran dari kayu di kanan dan belakang tempat tidur.
Sebuah almari kayu berada di sebelah tempat tidur. Sementara di kiri terdapat
meja untuk menyimpan berbagai peralatan kuno.
Di ujung ruangan saya melihat sebuah tangga menuju ke dapur.
Sayang saya tidak bisa turun ke sana karena sedang digunakan. Akhirnya saya
mendekati meja-meja yang ada di dekat pintu dapur. Beberapa peralatan kuno
tersimpan rapi. Peralatan ini masih sering digunakan ketika sebuah upacara
digelar. Termasuk sebuah kerangka untuk mengantung ayunan yang dipakai pada
upacara daur hidup, salah satunya adalah
upacara baayun anak.
Lapuk
Usia rumah bubungan tinggi di Telok Selong Martapura ini
telah mencapai 200 tahun lebih. Perjalanan waktu rupanya berpengaruh pada
bangunan. Pada beberapa bagian, saya melihat kayu mulai keropos. Andaikan tidak
segera diperbaiki dikuatirkan akan berpengaruh pada daya tahan rumah. Sebagai
bangunan cagar budaya sudah tentu keberadaannya harus dijaga, oleh karena itu
sebaiknya perbaikan segera dilakukan agar kerusakan tidak bertambah parah.
Tidak terasa satu jam saya berada di rumah bubungan tinggi,
rumah tradisional Banjar di Telok Selong itu. Kenyamanan dan keramahan pemilik
rumah membuat saya enggan meninggalkannya. Apalagi mengingat sengatan matahari
yang menyapa diluar sana, tetapi beberapa pengunjung mulai berdatangan.
Akhirnya saya pun pamit. Ibu Fauziah, terima kasih sudah menerima saya bertamu.
Akses menuju rumah bubungan tinggi
Rumah bubungan tinggi, rumah tradisional Banjar ini berada
di Telok Selong, Kabupaten Banjar, tepatnya di jalan Martapura Lama di depan
sungai Martapura. Dari kota Banjarbaru letaknya sekitar 4 km dan 3,2 km dari
kota Martapura. Untuk menuju kesana Anda bisa menyusuri jalan Ahmad Yani hingga
pertigaan setelah pasar Martapura. Belok ke kiri menuju jalan Jamrud sampai
ketemu pertigaan, belok ke jalan Martapura Lama.
Jam operasional
Rumah bubungan tinggi ini buka setiap hari. Sejak siang
hingga sore hari.
Tiket Masuk
Tidak ada tiket masuk. Pengunjung cukup mengisi buku tamu
dan mengisi kotak sumbangan yang tersedia.
Fasilitas
Terdapat pojok kecil yang menjual cinderamata khas
Kalimantan.
Halaman parkir yang luas.
Atapnya agk mirip dng rmh adat lampung.. Dn panggung gt...kan sprtinya kalimantan jg ada rmh panggung jg ya
BalasHapusrumah bubungan tinggi memang rumah panggung mbak karena sebagian besar lahan di kalimantan selatan basah dan banyak sungainya. soal atap bisa jadi agak mirip, kan kita ada di satu negara, Indonesia.
HapusWah, asyik ya. Aku sudah berkunjung ke bangunan-bangunan lama yang mempunyai nilai historis seperti ini. Kadang dari filosofis rumahnya kita memperoleh pelajaran berharga tentang kehidupan. Aku belum pernah ke daerah Kalimantan Selatan. Semoga suatu saat dilapangkan rezekinya untuk jalan-jalan kesana. Aamiin.
BalasHapussaya juga senang melihat bangunan lama mbak. arsitekturnya cakep dan tahan lama. mudah-mudahan nanti mbak melina bisa berkunjung ke kalimantan selatan.
HapusBagus nih sebagai wisata edukasi.
BalasHapusCuman kadang biasa dukungan dari pemerintah setempat minim jadi keliatan seperti tidak terurus
benar kata bang day, rumah bubungan tinggi bisa dijadikan tempat wisata edukasi. perlu peran pemerintah daerah untuk mewujudkannya.
HapusSmg jadi perhatian pemda yah
HapusAmin.
HapusYah jaka tahu pian ke sana ulun ikut Mba. Ulyn belym pernah masuk padahal sering lewat kalau mau ke sungai tabuk lwt dalam. Ternyata masih ditinggalinlayaknya rumah lah. Uln kira jadi museum.
BalasHapusBisalah kita janjian buat ke sana. Ulun senang aja main ke rumah itu. Adem banget mbak.
HapusBarang-barang kuningan itu sering aku liat di rumah almarhumah nenek semasa hidup. Ntah dimana barang itu sekarang. Kan bersejarah yak hehehehe
BalasHapusYa ampun mbak ruli, sayang banget kalau sampai hilang. susah lho nyarinya. saya senang banget pas lihat barang-barang di rumah bubungan tinggi masih terpelihara dan dipakai.
HapusSudah lama banget nih aku nggak jalan ke tempat yang seperti ini. Nice post mbak. Anyway ini pertama kalinya aku mampir di blog ini (eh mksdnya pertama kali leave a comment). Salam kenal mbak.
BalasHapussalam kenal kembali mbak Nisa, ayo kapan-kapan jalan-jalan ke tempat seperti ini, seru dan asyik lho melihat dan ngobrol sama pemiliknya.
Hapuswah jadi penasaran ini lokasinya di mana? dulu waktu masih kuliah di Banjarbaru sempat jua melihat rumah banjar kaya ini tapi warnanya merah semua. kayaknya itu bukan bangunan cagar budaya sih tapinya
BalasHapusini di martapura mbak, ke arah sungai martapura lama. di banjarbaru ada jugakah? perlu dicari nih, hmm apa rumah kayu yang ada di daerah mentaos ya? rumah itu besar dan cakep banget. rasanya sih bukan cagar budaya karena nggak ada plangnya.
Hapus