Matahari masih bersinar
terang ketika saya menapaki kaki di depan sebuah masjid tua. Berdiri gagah di
tepi sungai tapin, tepatnya di desa Banua Halat Kiri, Tapin. Bangunan itu
terbuat dari kayu ulin yang dicat putih. Warna hijau dibubuhkan pada setiap
tiang dan kusen jendela. Terlihat kontras namun menyegarkan.
|
masjid keramat al mukarammah |
Sebuah menara berwarna
kuning berdiri gagah di luar pagar besi yang menggelilingi masjid. Terlihat sekali
menara itu belum lama dibangun. Ya, menara itu harus berada di luar karena
masjid keramat Al Mukarammah merupakan bangunan cagar budaya, diperkirakan
masjid ini dibangun 80 tahun lalu. Sebuah plang yang ditanam di bagian depan
menegaskan hal itu.
Entah kenapa, saya
selalu kagum dan terkesima setiap kali melihat bangunan tua. Kesan gagah dan
perkasa, sekaligus misteri begitu kuat. Membuat saya tidak ingin berhenti
mengangguminya. Sungguh peninggalan yang indah. Terima kasih karena menjaga dan
merawatnya dengan baik, sehingga saya bisa menyaksikan dan merasakan
keagungannya.
|
masjid keramat al mukarammah |
Puas melihat bagian
luar masjid, saya mulai memasuki bagian dalam masjid. Langkah sempat tertahan
di dekat pintu masuk. Mata saya menatap deretan botol berbagai ukuran yang
tertata rapi di rak berwarna hijau. Pada setiap botol tertera nama pemilik. Banyak
tulisannya yang pudar, menandakan botol itu sudah cukup lama berada di sana.
Rupanya botol-botol
berisi air ini memang sengaja diletakkan untuk mendapatkan doa dari ulama atau
ustad. Semula botol-botol itu berada di dekat mimbar, tetapi karena jumlahnya
terus bertambah, akhirnya sebagian dikeluarkan dan ditaruh di rak. Entah kapan
sang pemilik akan mengambilnya.
Tepat di ujung rak,
terlihat sepasang guci berukuran cukup besar. Letaknya di kiri dan kanan pintu
teras, seperti mengapit. Keduanya berisi air, jernih dan segar. Kabarnya, air
dari guci ini digunakan untuk memandikan anak. Tentu bukan kegiatan mandi
sehari-hari, tetapi lebih dulu diiringi ritual atau doa tertentu.
Beberapa batu
tergeletak di dekat guci yang berada di seberang rak. Dulu, di atas batu itulah
sang anak berdiri kala dimandikan. Karena kini seluruh permukaan teras sudah
dilapisi ubin, maka batu ditaruh di sana. Fungsinya tetap tidak berubah.
Guci-guci berwarna
cokelat itu rupanya memiliki ukiran. Guci yang berada di seberang rak bagian
luarnya dihiasi ukiran naga. Sedangkan guci lainnya ukirannya berbentuk bunga
dan sulur. Kabarnya guci ini berasal dari cina dan usianya sudah sangat lama.
Jadi ingat pernah melihat guci seperti itu di sebuah acara di televisi.
Guci itu
juga dipakai menyimpan air untuk memandikan anak. Apakah keduanya berkaitan? Entahlah.
|
masjid keramat al mukarammah |
Saya memutuskan untuk
masuk ke teras masjid. Menyentuh dan menatap tiang-tiang bercat putih itu. Tiang-tiang
terlihat diukir. Meski ukirannya sangat sederhana. Ukuran tiang itu tidak
terlalu besar. Jarak antar tiang pun tidak terlalu jauh. Mereka dengan setia
menjalankan tugasnya menopang atap hingga kini.
Suasana panas seperti
teredam saat berdiri di teras. Terangnya sinar matahari pun tidak membuat
silau. Seperti ada yang meredamnya. Meski demikian, saya bisa leluasa melihat
bagian dalam masjid. Pintu sekaligus jendela berbentuk kotak melapisi kaca yang
menahan angin tapi tidak menghalangi sinar. Rasanya pintu dan jendela ini dapat
dibuka lebar, sehingga bisa menampung banyak orang.
Siang itu, hanya pintu
bagian muka dan samping saja yang dibuka. Seorang marbot, tampak duduk bersama
dua orang pengunjung. Mereka terlihat berdoa dengan khusyuk. Saya tidak ingin
mengganggunya. Lagi pula, perhatian saya sudah sepenuhnya tersedot pada
tiang-tiang, jendela, dan mihrab di tengah masjid.
|
mimbar masjid keramat al mukarammah |
Tiang-tiang ini pun
dibuat dari kayu ulin. Ukurannya lebih besar dibanding tiang-tiang yang ada di
luar. Bagian bawah tiang dicat dengan warna hijau, sedangkan bagian atasnya berwarna
kuning. Ada dua buah tiang yang seperti dibungkus kain kuning. Keduanya seakan
disatukan oleh sebatang kayu yang melintang di antara keduanya. Lagi-lagi kayu
ini dibungkus kain kuning.
Rupanya pada kayu
itulah digantungkan ayunan untuk mengayun anak. Ada saja warga yang datang
untuk mengayun anak di sana. Tetapi acara mengayun anak yang utama dilakukan
pada bulan maulid, tepatnya tanggal 12 rabiul awal. Ketika itu ribuan orang datang
untuk mengikuti tradisi baayun maulid yang telah dilakukan sejak dulu hingga
kini.
Meski telah dilapisi
cat, saya masih bisa melihat tatahan pada beberapa tiang besar. Rupanya tatahan
ini bertuliskan tanggal dan nama beberapa orang. Diyakini merekalah yang
membantu menyumbangkan dana untuk membangun masjid.
Selain tiang berbungkus
kain, rasa ingin tahu saya membawa saya ke satu tiang di dekat mihrab. Bagian tengah
tiang ini berwarna hitam. Pada bagian atasnya diikat secarik kain berwarna
kuning. Dengan seijin penggelola masjid, saya menempelkan telapak tangan ke
bagian tiang yang berwarna hitam. Terasa tiangnya agak lengket. Namun, rasa
lengket ini tidak berlangsung lama. Telapak yang menempelpun tidak terasa
lengket.
|
lantai masjid keramat al mukarammah |
Penasaran, saya
perhatikan dan cermati bagian tiang itu baik-baik. Dari pori-pori kayu seperti
terlihat ada cairan keluar. Tipis saja. Saya sungguh-sungguh takjub dibuatnya.
Menurut penggelola masjid, tiang ini dipercaya merupakan tiang peninggalan Datu
Ujung, tokoh yang sangat dikagumi dan dihormati masyarakat.
Datu Ujung yang
terkenal sakti, bersama-sama warga membangun masjid keramat Al-Mukarammah.
Tepat disamping tiang,
berdiri kokoh sebuah mimbar, tempat ulama atau ustad memberikan ceramahnya. Pada
bagian depan mimbar terdapat semacam gapura, diikuti tangga menuju bagian atas
tempat ustad duduk. Terdapat atap berbentuk kerucut melingkupi tempat duduk. Mimbar
ini dipenuhi ukiran berbentuk sulur-suluran. Dicat warna hijau dan kuning. Cantik
sekali.
Keindahan masjid
semakin terasa dengan pemakaian ubin berwarna putih berhiaskan bunga berwarna
hijau. Kabarnya ubin ini berasal dari Surabaya dan dipasang tahun 1935. Menggantikan
lantai asli yang terbuat dari papan.
Sejak berdiri, tidak
banyak perubahan atau pembangunan yang dilakukan. Selain penggantian ubin,
renovasi yang dilakukan hanya pada bagian mihrab, atap, dan teras saja. Ruang
mihrab yang sebelumnya terbuat dari kayu, pada bagian bawahnya diganti dengan
bata. Kemudian atap sirap yang digunakan diganti dengan seng. Sementara teras
dipasangi ubin agar lebih nyaman.
Bentuk atapnya sendiri
sama sekali tidak berubah. Tetap berbentuk tumpang tiga dengan puncak atap
berbentuk limasan. Rupanya bentuk demikian merupakan perlambang dari wujud
mengesakan Allah.
Di antara atap pertama,
kedua, dan ketiga terdapat jendela-jendela besar berhias kaca. Sinar matahari dengan leluasa masuk dan
menerangi bagian dalam masjid. Pada bagian puncak atap terdapat hiasan atau
pataka yang terbuat dari tembaga.
Tidak terasa sudah 1
jam saya berada di sana. Mendengarkan cerita tentang pembangunan masjid ini
sungguh sangat mengasyikan. Apalagi bisa menyentuh dan merasakan auranya yang
dalam. Rasanya, ketika itu waktu berhenti. Memberi saya kesempatan untuk
meresapi setiap guratan yang ditatahkan pada kayu.
Merasai betapa besar anugrah
yang diberikan pada saya. Sekaligus bersyukur atas karunia yang diberikan. Kini
waktunya untuk kembali ke aktivitas. Tentu dengan rasa yang berbeda karena saya
seperti baru saja mengisi ulang baterai.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.