Beberapa waktu lalu, di grup lagi asyik ngobrol soal
cagar budaya. Entah angin apa yang berhembus kencang, sampai-sampai kami asyik berdiskusi tentang warisan budaya bangsa yang harus kita jaga. Agak berat ya...tapi beneran lho, ngobrolin cagar budaya bisa melupakan banyak hal. Termasuk masak, hahahaha.
Saya kebetulan senang ngeliat bagunan atau apalah yang kuno dan antik. Rasanya takjub dan gimana gitu kalau ngeliat bangunan lama. Sudah arsitekturnya keren, bangunannya tahan lama (buktinya masih ada sampai sekarang), dan pasti ada cerita menariknya. Kalau kebetulan dibolehin sama pemiliknya, pasti saya foto-foto, bangunan atau bendanya ya, buat koleksi pribadi sih.
|
Stasiun bogor |
Nah, kembali ke gosipan para emak, ternyata pengertian cagar budaya itu sendiri belum banyak yang tahu. Apakah sebuah bangunan yang kelihatan tua atau sisa reruntuhan bisa dikatakan sebagai cagar budaya. Tahan dulu....kita cari tahu arti cagar budaya dulu, biar afdol.
Dari laman data.go.di, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.
Sementara laman wikipedia mengatakan,
Cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya
dilindungi oleh
undang-undang dari
bahaya kepunahan
Menurut UU no. 11 tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya
bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di
darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Saya jadi ingat pernah agak ngotot melihat rumah adat banjar yang ada di Kota Rantau, Kabupaten Tapin. Sempat tanya sana-sini perihal kondisi terbarunya. Kabarnya, rumah itu kini tidak terlalu terawat. Beruntung, waktu seperti berpihak karena di antara padatnya jadwal, saya bisa juga melihat rumah adat banjar yang menurut empunya merupakan rumah adat gajah manyusu. Proses pencariannya lumayan juga, alias muter-muter karena tidak ada plang atau tanda khusus. Petunjuk yang saya dapat adalah, rumah itu berada di tepi jalan utama, dekat tugu yang menjadi pemisah ke beberapa jurusan jalan, rumahnya dari kayu dan bercat hijau.
|
Rumah adat banjar |
Akhirnya ketemu juga. Benar rumah itu ada di tepi jalan, terbuat dari kayu, dan bercat hijau. Namun kondisinya lumayan bikin miris. Sudah agak miring dan keliatan lapuk. Beruntung sang pemilik membolehkan saya mengabadikannya hingga bisa jadi kenangan untuk saya.
|
Rumah adat banjar |
|
Rumah adat banjar
|
Seorang teman saya juga sempat bercerita tentang situs yang ada di
Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan yaitu
gua harimau. Kemudian gua-gua
di maros dan pangkep Makassar yang didalamnya terdapat lukisan tangan
dari jaman pra sejarah.
Sepulang dari perjalanan, saya jadi berpikir, apakah rumah adat yang tadi saya lihat termasuk cagar budaya. Tentu nggak sembarangan bangunan bisa dikategorikan cagar budaya, pasti ada aturan bakunya. Ternyata benar, tapi nggak rumit dan nggak bikin pusing kepala. Sebuah bangunan atau barang bisa diajukan menjadi cagar budaya jika usianya minimal 50 tahun. Mewakili masa gaya paling singkat berusia minimal 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
|
Gua harimau ogan komering ulu |
|
Gua harimau ogan komering ulu |
Oh, begitu rupanya. Lantas siapa sih yang bisa mengusulkan atau
mendaftarkan suatu situs, bangunan, benda, atau hal lainnya yang dianggap pantas dijadikan cagar budaya? ternyata semua orang bisa mengajukannya. Jadi nggak perlu menunggu, langsung aja daftarkan saudara-saudara. Ini adalah langkah awal pelestarian. Baru setelah itu akan ada proses pengkajian oleh para ahli.
Saat ini kalau nggak salah, berdasarkan UU no 5 tahun 1992, benda cagar budaya yang sudah ditetapkan jumlahnya sekitar 954 buah. Nah, tinggalan tersebut akan dikaji ulang dan disesuaikan dengan UU no 11/2010 tentang cagar budaya. Kalau disetujui dan ditetapkan jadi cagar budaya, sudah tentu harus dijaga.
Diskusi pun makin seru. Sebuah pertanyaan terlontar, apakah keuntungan yang diperoleh dari penyematan cagar budaya pada suatu bangunan atau benda?
|
Waruga |
Manfaatnya sudah pasti ada, yaitu:
1. Dari segi sejarah kita akan belajar tentang keadaan di masa itu. Seperti apa pakaian yang dipakai, bahan bangunan yang digunakan, peralatan yang dipakai.
2. Hubungan antar manusia yang terjadi kala itu. Seperti yang terjadi di daerah Rantau, dahulu dipercayai antara suku Banjar dan Suku Dayak Meratus berasal dari dua kakak beradik, oleh keran itu sampai sekarang keduanya saling menghormati, meskipun berbeda keyakinan.
3. Segi pendidikan akan mengantar kita melihat teknik membangun yang diterapkan oleh nenek moyang kita. Bagaimana candi yang sedemikian besar dan megah bisa berdiri tanpa bantuan semen. Atau cat-cat yang digunakan untuk melukis tidak hilang meski telah berusia ratusan tahun.
4. Dari segi keterampilan juga menarik mengamati betapa halus dan detailnya ukiran yang ditorehkan di atas batu atau kayu. Ragam hias itu diangkat dari kekayaan alam sekitar yang sangat dekat dengan kehidupan mereka. Juga tentang legenda yang hidup di daerah tersebut.
Ketika kami berpikir bahwa warisan budaya itu adalah bangunan dan benda-benda lainnya, ternyata oh ternyata, tidak benar juga. Warisan budaya itu ada yang tidak berwujud benda, kadang malah sangat akrab dengan kita karena wujudnya bisa berupa tradisi, kepercayaan, dan...kuliner. Waduh, saya yang doyan icip-icip langsung tertohok. Doingg.
Seketika langsung inget sama masakan dari Kota Pontianak,
Paceri Nanas yang ternyata sudah dijadikan warisan budaya tak benda. Hidangan berbahan nanas ini wajib dihidangkan, terutama pada acara
makan saprahan, sebuah budaya makan yang ada di Kota
Pontianak. Adat makan saprahan adalah adat makan bersama duduk di lantai yang dilakukan masyarakat melayu Pontianak yang
diadakan sebelum acara besar berlangsung
seperti pernikahan, khitanan, dan lainnya. Tradisi ini mengandung makna duduk
sama rendah, berdiri sama tinggi. Dalam kegiatan ini menu utama yang dihidangkan
berupa nasi putih atau kebuli, semur daging, sayur dalcah, pacri nanas, selada,
acar telur, sambal bawang, air serbat, dan kue khas Pontianak.
Ah, saya jadi semakin tertarik untuk mencari tahu lebih jauh dengan beragam budaya negeri ini. Begitu kaya dan beragam, pokoknya keren abis. Jangan sampailah kekayaan ini tergerus dan terlupakan. Biar bagaimana juga, budaya ini milik kita yang harus dijaga.
daya tarik cagar budaya adalah sejarah yang terekam di dalamnya, setuju sekali kalo kekayaan ini harus tetap dijaga supaya kita bisa wariskan ke anak cucu kelak :)
BalasHapusbenar mbak janice, jangan sampai hilang. harus dijaga kelestariannya.
Hapus