- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mia duduk termangu di teras depan. Ia bingung karena belum membuat tugas sekolah, padahal besok senin sudah harus dikumpulkan. Tugas itu mungkin mudah untuk para murid, mereka diminta memotret dan menuliskan cara pembuatan makanan tradisional di rumah. Sayangnya, Mama di rumah tidak bisa memasak. “Maaf sayang, mama tidak bisa membuat masakan. Bagaimana kalau kita beli buku masakan saja jadi kamu bisa menulis cara membuatnya?” ucap mama yang jago merias wajah mencoba memberi jalan keluar.
Ide mama benar juga sih, tetapi bagaimana dengan fotonya. Kalau sudah begini Mia jadi ingat sama nenek di Semarang yang jago masak. Setiap hari ada saja masakan tradisional yang dibuat nenek. Mia paling suka sama lumpianya. Wuih, enak banget lho.
Ya, sejak sebulan lalu Papa dipindahkan ke Surabaya. Di kota ini mereka tinggal di sebuah perumahan di pinggir kota Surabaya. Udaranya yang panas membuat Mia jarang sekali keluar rumah. Pulang sekolah ia langsung bersembunyi di kamarnya yang berpendingin.
Baru sore ini Mia memutuskan melihat-lihat suasana sekeliling rumahnya. Bosan juga di dalam kamar saja. Seperti beruang yang berhibernasi kala musim dingin tiba saja ya. Ternyaka kalau sore cuaca tidak terlalu menyengat. Suasana juga tidak terlalu ramai. “Lebih baik aku jalan-jalan saja, siapa tau dapat ide,” gumam Mia sambil meninggalkan teras rumahnya.
Tiba-tiba di depannya melintas seekor kucing berbulu putih. Cantik sekali. “Aduh cakepnya, kucing siapa ya?”ucap Mia kagum. Dikejarnya kucing itu yang terus berlari ke arah sebuah rumah di ujung jalan. “Pus-pus, sini,” seru Mia yang tidak sadar sudah masuk ke dalam halaman rumah itu.
“Ah, kamu mau main sama putih ya,” sapa seorang nenek yang sedang berkebun. Mia kaget, “Maaf Nek, saya lancang masuk ke sini.”
Nenek itu tertawa. “Tidak apa-apa. Masuklah kalau memang ingin bermain dengan putih. Dia sering sekali bermain di teras rumahmu,” jelas si nenek ramah.
“Nenek sedang apa? Nama saya Mia. Saya baru pindah ke sini, Nek,” kata Mia menghampiri sang Nenek.
“Nama yang bagus. Nenek lagi membersihkan rumput liar supaya bunga-bunga ini tetap cantik,” jelas Nenek sambil melangkah ke arah teras,” bagaimana kalau kita duduk-duduk dulu, sekalian nenek istirahat.”
Mia mengekor di belakang nenek dan duduk di sebuah bangku kayu kecil. “Tunggulah sebentar sama putih ya,” pinta nenek yang terus masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian nenek kembali sambil membawa nampan.
“Tadi nenek bikin biji salak, kamu coba ya?” kata nenek sambil memberikan mangkuk kecil berisi kolak biji salak. Baunya harum sekali.
Mia langsung menerima dan menghirup baunya, “Rasanya pasti enak.”
Nenek tersenyum mendengar kata-kata Mia, “Cobalah.”
Tanpa disuruh dua kali, Mia langsung menyantap bijik salaknya. Benar saja, biji salak itu rasanya enak. Manis dan tidak keras. “Nenek suka masak ya?” tanya Mia setelah menelan biji salak terakhirnya.
Nenek mengangguk sambil tersenyum.
Entah darimana tiba-tiba sudah meluncur sebuah kalimat dari mulut Mia, “Mia mau lagi nek, boleh ya.”
Begitu sadar, Mia langsung menutup mulutnya, “maaf nek. Mia lancang,” katanya dengan muka merah padam karena malu.
Nenek tertawa geli melihatnya. “Tidak apa-apa, nenek ambilkan ya.”
Tidak lama kemudian, semangkuk biji salak sudah sampai di tangan Mia. Kali ini tidak langsung dimakan tapi ditaruh di atas meja. Kemudian Mia mengeluarkan telepon gengamnya dan memotretnya. Baru setelah itu sambil tersenyum puas Mia mulai menyantap biji salaknya.
“Biji salaknya kenapa di foto?,” tanya nenek heran.
“Mia punya tugas sekolah nek. Memotret dan mencatat resep masakan tradisional. Sayang di rumah mama tidak bisa masak, jadi Mia bingung dan belum bikin tugasnya,”
Nenek mengangguk-anguk mendengar cerita Mia. “kalau begitu kamu perlu foto pembuatan biji salaknya ya?” tanya nenek lagi.
Mia mengangguk pelan. Tangannya sibuk mengusap si putih yang duduk manis di dekat kakinya. Mia yakin nenek tidak mengijinkannya melihat pembuatan biji salak.
“Kalau begitu, besok pagi kamu kemari ya. Kita bikin biji salak sama-sama,” ajak nenek tulus.
Mia kaget mendengarnya. “Benar nek?” tanyanya tak percaya.
“Tentu, kalau ubinya masih ada kita malah bisa membuatnya sekarang.”
“Asyik,” seru Mia kegirangan sambil melompat-lompat riang. “Besok pagi, Mia pasti sudah di sini nek, janji,” tambahnya dengan suara gembira.
“Kalau begitu sekarang kamu pulang dulu, sudah sore. Nanti dicari orangtuamu.”
“Baik nek,” jawab Mia sambil menghampiri nenek dan mencium tangannya. “Mia pulang dulu nek,” pamitnya.
“Jangan lupa beritahu orangtuamu kamu besok main ke rumah nenek ya,” pesan nenek sebelum Mia meninggalkan halaman rumahnya.
“Beres Nek,” sahut Mia.
Ide mama benar juga sih, tetapi bagaimana dengan fotonya. Kalau sudah begini Mia jadi ingat sama nenek di Semarang yang jago masak. Setiap hari ada saja masakan tradisional yang dibuat nenek. Mia paling suka sama lumpianya. Wuih, enak banget lho.
Ya, sejak sebulan lalu Papa dipindahkan ke Surabaya. Di kota ini mereka tinggal di sebuah perumahan di pinggir kota Surabaya. Udaranya yang panas membuat Mia jarang sekali keluar rumah. Pulang sekolah ia langsung bersembunyi di kamarnya yang berpendingin.
Baru sore ini Mia memutuskan melihat-lihat suasana sekeliling rumahnya. Bosan juga di dalam kamar saja. Seperti beruang yang berhibernasi kala musim dingin tiba saja ya. Ternyaka kalau sore cuaca tidak terlalu menyengat. Suasana juga tidak terlalu ramai. “Lebih baik aku jalan-jalan saja, siapa tau dapat ide,” gumam Mia sambil meninggalkan teras rumahnya.
Tiba-tiba di depannya melintas seekor kucing berbulu putih. Cantik sekali. “Aduh cakepnya, kucing siapa ya?”ucap Mia kagum. Dikejarnya kucing itu yang terus berlari ke arah sebuah rumah di ujung jalan. “Pus-pus, sini,” seru Mia yang tidak sadar sudah masuk ke dalam halaman rumah itu.
“Ah, kamu mau main sama putih ya,” sapa seorang nenek yang sedang berkebun. Mia kaget, “Maaf Nek, saya lancang masuk ke sini.”
Nenek itu tertawa. “Tidak apa-apa. Masuklah kalau memang ingin bermain dengan putih. Dia sering sekali bermain di teras rumahmu,” jelas si nenek ramah.
“Nenek sedang apa? Nama saya Mia. Saya baru pindah ke sini, Nek,” kata Mia menghampiri sang Nenek.
“Nama yang bagus. Nenek lagi membersihkan rumput liar supaya bunga-bunga ini tetap cantik,” jelas Nenek sambil melangkah ke arah teras,” bagaimana kalau kita duduk-duduk dulu, sekalian nenek istirahat.”
Mia mengekor di belakang nenek dan duduk di sebuah bangku kayu kecil. “Tunggulah sebentar sama putih ya,” pinta nenek yang terus masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian nenek kembali sambil membawa nampan.
“Tadi nenek bikin biji salak, kamu coba ya?” kata nenek sambil memberikan mangkuk kecil berisi kolak biji salak. Baunya harum sekali.
Mia langsung menerima dan menghirup baunya, “Rasanya pasti enak.”
Nenek tersenyum mendengar kata-kata Mia, “Cobalah.”
Tanpa disuruh dua kali, Mia langsung menyantap bijik salaknya. Benar saja, biji salak itu rasanya enak. Manis dan tidak keras. “Nenek suka masak ya?” tanya Mia setelah menelan biji salak terakhirnya.
Nenek mengangguk sambil tersenyum.
Entah darimana tiba-tiba sudah meluncur sebuah kalimat dari mulut Mia, “Mia mau lagi nek, boleh ya.”
Begitu sadar, Mia langsung menutup mulutnya, “maaf nek. Mia lancang,” katanya dengan muka merah padam karena malu.
Nenek tertawa geli melihatnya. “Tidak apa-apa, nenek ambilkan ya.”
Tidak lama kemudian, semangkuk biji salak sudah sampai di tangan Mia. Kali ini tidak langsung dimakan tapi ditaruh di atas meja. Kemudian Mia mengeluarkan telepon gengamnya dan memotretnya. Baru setelah itu sambil tersenyum puas Mia mulai menyantap biji salaknya.
“Biji salaknya kenapa di foto?,” tanya nenek heran.
“Mia punya tugas sekolah nek. Memotret dan mencatat resep masakan tradisional. Sayang di rumah mama tidak bisa masak, jadi Mia bingung dan belum bikin tugasnya,”
Nenek mengangguk-anguk mendengar cerita Mia. “kalau begitu kamu perlu foto pembuatan biji salaknya ya?” tanya nenek lagi.
Mia mengangguk pelan. Tangannya sibuk mengusap si putih yang duduk manis di dekat kakinya. Mia yakin nenek tidak mengijinkannya melihat pembuatan biji salak.
“Kalau begitu, besok pagi kamu kemari ya. Kita bikin biji salak sama-sama,” ajak nenek tulus.
Mia kaget mendengarnya. “Benar nek?” tanyanya tak percaya.
“Tentu, kalau ubinya masih ada kita malah bisa membuatnya sekarang.”
“Asyik,” seru Mia kegirangan sambil melompat-lompat riang. “Besok pagi, Mia pasti sudah di sini nek, janji,” tambahnya dengan suara gembira.
“Kalau begitu sekarang kamu pulang dulu, sudah sore. Nanti dicari orangtuamu.”
“Baik nek,” jawab Mia sambil menghampiri nenek dan mencium tangannya. “Mia pulang dulu nek,” pamitnya.
“Jangan lupa beritahu orangtuamu kamu besok main ke rumah nenek ya,” pesan nenek sebelum Mia meninggalkan halaman rumahnya.
“Beres Nek,” sahut Mia.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.