Sepatu olahraga, sudah siap. Celana training, sudah ok, dompet, telepon gengam, tempat air minum, power bank, buah salak, nasi, mi goreng, piring, dan sendok, semua sudah masuk ke dalam tas. Lalu mau kemana kita hari ini?
Sudah pasti mencari keringat, ini jadwal hampir tetap setiap hari minggu. Makanya bangun pagi-pagi ya. Tapi kali ini tempat yang dituju tidak bisa dibilang dekat. Tidak bisa dicapai dengan jalan kaki seperti yang biasa dilakukan. Perlu waktu dan kendaraan untuk sampai ke sana. Mau naik motor, bisa saja, hanya kapasitasnya terbatas dan bakalan batal berolahraga. Kuatir masuk angin duluan. Maka kendaraan roda empat jadi pilihan. Penumpangnya adalah saya, si kecil, kakak, kakak ipar, dan seorang keponakan.
Jam 6.30 kami siap menuju kebun teh di kawasan puncak. Lokasi olahraga ini dipilih gara-gara pertanyaan dari kakak pada si bungsu. "Kamu sudah pernah ke kebun teh?". Maka sang keponakan dan pakde pun menyusun rencana. Saya dan kakak ipar yang dapat jatah menyiapkan segalanya, di malam yang mendadak itu. Jadi kesanalah kami menuju.
Awalnya tak ada rintangan, jalanan bisa dibilang kosong. Namun begitu sampai di pintu keluar tol gadog, mulailah antrian terlihat. Untung tidak terlalu panjang. Biar tidak bosan, candaan dan obrolan mengalir tak jelas selama hampir dua puluh menit. Para pedagang semakin banyak yang berseliweran. Ada tukang gemblong, minuman dingin, kacang rebus, lalu cilok dan siomay yang dijajakan lengkap memakai gerobak, tidak dikemas seperti penjual pizza.
Beberapa penumpang kendaraan mulai turun dan memilih berjalan, entah kemana. Mungkin penasaran dengan suasana di depan sana. Anak-anak sih masih asyik dengan dunianya. Sampai memasuki menit ke tigapuluh, perselisihan mulai timbul sedikit-sedikit. Biar tidak tambah parah, cegat saja tukang kacang rebus dan biarkan mereka mengunyah. Pertengkaran pun berhenti. Untungnya lalu lintas mulai dibuka dan kami pun melaju menuju puncak. Tanpa hambatan.
Kecepatan mulai berkurang kira-kira limaratus meter menjelanag pintu masuk perkebunan teh gunung mas. Rupanya di sinilah titik pertemuan dua jalur kendaraan yang berbeda. Maka semua harus mulai bertengang rasa. Pelan tapi pasti sampailah kami di perkebunan itu. Lahan parkir bagian depan sudah ramai sekali. Maju lagi ke bagian lebih dalam melewati tea gallery. Berhenti di lapangan kecil yang teduh dengan pepohonan.
Dengan tak sabar si kecil dan keponakan turun dan melihat-lihat sekeliling. Ayo nak, kita berlari. Tapi tidak jadi karena lahannya naik turun dan berbatu-batu. Sadar diri karena bukan olahragawan. Yuk telusuri saja jalan setapak menurun ini. Melihat dari dekat pokok-pokok pohon teh yang terhampar luas. Bau khas tanaman teh pun menguar kuat.
Berhenti sejenak di lahan camping ground yang tak bertenda sama sekali. Agak sepi di sini. Jadi maju terus sampai bagian yang agak ramai. Rupanya daya pikatnya ada di aliran sungai kecil di tepi camping ground. Beberapa anak asyik bermain di sana. Yuk kita ke sana. Nikmati dinginnya air pegunungan asli dari sumbernya.
Lewati titian kayu, lalu lepas sepatu. Pelan-pelan turun dengan berpegangan tangan. Karena baru pertama kali bermain di sana, anak-anak sedikit ketakutan, tapi tidak lama. Setelahnya mereka asyik berjalan di sungai kecil itu. Kami mengawasi dari atas sambil foto-foto tentunya. Baru setelah itu ikutan main di sungai. Wah airnya dingin sekali. Kayaknya saya sudah lama sekali tidak menikmati sensasi ini. Terlalu asyik dengan pekerjaan sampai tak meluangkan waktu untuk bermain air. Makin lama penikmat sungai makin banyak, tak sebanding dengan besar dan luasnya. Lebih baik naik dan mengisi perut saja. Lapar sudah mulai merajai nih. Mari sikat habis bekal yang dibawa. Kalau sudah kita jalan-jalan lagi.
Luasnya hamparan perkebunan teh sebenarnya menggoda kami buat menjelajah. Pasti jauh dan melelahkan melihat alur jalan yang menanjak. Sepi juga karena tidak ada orang yang melintas di sana. Cuma keinginan buat naik ke atas makin menggoda. Ya sudah kita pergi saja dengan mobil. Ini edisi curangnya, hahahaha. Ternyata di sana tidak cuma pohon teh yang dijumpai, tapi ada perkebunan jeruk dan nanas. Sepertinya ada pengembangan tanaman di sini. Beberapa petak perkebunan teh juga terlihat tidak terawat, walaupun kita melihat beberapa rumah para pemetik teh. Kenapa ya? nggak bisa tanya-tanya. Balik lagi saja ya ke tanah lapang besar di bawah sana.
Tujuannya mau lihat dan akhirnya naik kuda. Cuma keponakan sih yang naik. Si kecil memilih untuk berjalan kaki. Ayo nak kita jalan-jalan lagi. Keliling lapangan ini yang ternyata tidak sampai limabelas menit saja sudah sampai di lokasi semula kami parkir. Ganti lokasi ah, ke tea gallery. Siapa tau bisa lihat proses pembuatan teh. Sayangnya proses pembuatan teh sudah tidak dilakukan di sana. Meskipun gallery itu berada dibangunan pabriknya. Kami hanya mendengarkan sedikit penuturan tentang teh yang dibuat di situ. Ada teh hitam ortodok, teh hitam dengan kualitas ekspor yang tidak dijual di pasar dalem negeri, teh hijau, dan teh putih yang sangat mahal. Ada juga minuman pendamping seperti jahe, kunyit, dan kayu manis.
Oh ya, yang namanya teh hitam ortodok itu sebenarnya berasal dari tanaman teh yang sama dengan teh hitam yang dijual untuk ekspor. Bedanya di pemotongan daun tehnya. Kalau teh hitam ortodok di proses kecil-kecil, seperti dipotong-potong. Sementara teh hitam ekspor diproses seperti butiran-butiran. Sambil mendengarkan para pengunjung bisa menikmati sajian teh dengan kayu manis. Rasanya enak sekali di tenggorokan.
Puas berputar-putar, saatnya kembali pulang. Cek perbekalan masih ada salak yang tersisa. Yakin akan menunggu lagi di jalan, menunggu jam buka jalan. Tak apa, kalau jenuh menunggu kita menepi saja. Dan senangnya, acara menunggunya tak perlu lama. Sirene sudah terdengar, mari kita melaju ke bawah dan pulang.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.